KUTITIPKAN CINTA PADA SAKURA


Oleh Sri Al Hidayati

Judul        : SAKURA
Penulis     : Nova Ayu Maulita
Cetakan    : I, Juni 2010
Penerbit    : PT. Lingkar Kreativa
Tebal        : 400 halaman
ISBN        : 978-602-8436-54-0

Masa depan adalah misteri. Masa depan adalah kumpulan kecemasan berujung harap. Masa depan adalah kisah yang akan selalu dinantikan ending-nya.

Buku yang dapat menginspirasi pembacanya, memacu emosi pembacanya, menjadi cermin bagi dirinya, berbuah semangat dalam kebaikan agaknya sangat dicari di negeri ini. Saat menyimak sebuah buku, maka pembaca akan menunggu bagaimana akhir cerita tersebut?

Membaca “Sakura” karya Nova Ayu Maulita, penulis merasa senang sekali karena setting berlatar Jepang sangat apik dan disajikan dengan matang. Sehingga tidak bosan saat membacanya. Nova Ayu Maulita, pemenang 3 RBA 2002 di Annida. Lebih tepatnya Annida no.03/XIV/1-15 Nopember 2004, mengingatkan saya pada tulisan Ahmad Tohari yang begitu baik menggambarkan atmosfir Dukuh Paruk.

Tokoh utama menggunakan sudut pandang “aku-an” dalam buku ini yakni Kirana, mahasiswa UGM jurusan Hubungan Intenasional, berusia 22 tahun, dan akan mengalami pertukaran pelajar ke Jepang. Cerita berlanjut dengan proses adaptasi Kirana saat di Jepang, dan Hiro sebagai tutor Kirana yang menemaninya selama di Jepang.

Kerapkali Hiro kesal karena saat janjian Kirana seringkali telat, dan hal tersebut membuatnya berpikir kalau orang Indonesia tidak tepat waktu, meski Kirana menjelaskan kalau tidak semua seperti itu. Tapi tak mengubah pandangan Hiro.

Kisah pertemanan Hiro dan Kirana menjadi arti tersendiri bagi keduanya. Waktu berlalu hingga sudah setahun, Kirana mesti kembali lagi ke Indonesia. Itu artinya ia akan berpisah dengan Hiro. Tampak keresahan dari Kirana. Kirana mengharapkan dapat kembali ke Jepang untuk melanjutkan S2, dan meski bimbang, ia menitipkan cintanya pada Sakura.

Di Jepang pula, Kirana menemukan sahabat-sahabatnya yaitu Andreas, Wahib, Voleak, Grace, dan Sandra.  Dalam pertemuan terakhir mereka berkumpul di apartemen  Wahib beserta istri dan anak-anaknya, sebelum akhirnya pulang ke Negara masing-masing. Grace mengusulkan untuk berjuang agar 5 tahun lagi bertemu kembali ke Jepang.

Sepanjang perjalanan dari Bandara ke stasiun kereta api, Nova Ayu tampak apik menempatkan perbedaan stasiun kereta api Jepang dan stasiun kereta api Indonesia.

Tak lama aku sudah berada di dalam Stasiun Gambir. Gambir Eki. Aku tersenyum menyandingkan nama Gambir dalam versi Indonesia dengan Jepang. Ada sama yang tak sama. Keduanya sama-sama penuh dengan manusia. Tapi kepenuhan yang kuhadapi ini begitu riuh, ramai. Sedang kepenuhan di Jepang, sepenuh apapun tetap saja minim suara. Orang-orang di stasiun besar Tokyo bergerak cepat hilir mudik tunggang langgang. Sementara orang-orang Gambir begitu santai, damai menghadapi hidup. Ada juga jam besar warna putih yang tergantung di ruangan. Jarum panjang yang tampak berat menunjuk angka sepuluh, sementara yang pendek menunjuk angka delapan. Kalau dicocokkan dengan jamku, penunjukkan waktu itu terlambat empat menit. Tidak tepat! Karena toh apa arti sebuah empat menit di Indonesiaku ini. Tidak masalah. Sementara jam yang ada di stasiun-stasiun Tokyo semuanya digital dengan menit seragam. Sementara saja terlewat bisa jadi kereta sudah pergi meninggalkan titik pandangan.

Kemudian Kirana bertemu dengan sosok Tasya, sosok cantik, modis yang dikemudian hari Kirana ketahui termasuk “ayam kampus”. Ayah Tasya keluar masuk ruang persidangan untuk tuduhan korupsi, dan memiliki hubungan dengan perempuan lain. Begitupun dengan ibunya.

Sepulangnya ke Indonesia, tepatnya di Dukuh Wanastri, sebuah desa kecil di timur Jawa, kepulangan Kirana disambut bahagia oleh seluruh keluarga dan ternyata Kirana telah dijodohkan dengan Ridwan.

Dukuh Wanastri masih belum banyak berubah setelah lebih setahun kutinggalkan. Aku belum sempat pulang sejak kepergianku ke Jepang. Pagi masih tersisa ketika kakiku mulai menapak jalan kerikilnya. Pancaran matahari pagi menjadi tenaga yang membangunkan Dukuh Wanastri dari ketergeliatan subuh. Sinarnya menerobos lewat pucuk-pucuk nyiur dan rumpun bambu yang ujungnya masih berembun. Gemericik air pancuran memukul semangat bocah-bocah dengan caranya yang klasik dan sederhana. Wangi dedaunan yang digesek angin menyempurnakan suasana dukuh yang masih asri itu.

Rumput-rumput yang bergoyang berat dihela angin, tapi ujungnya masih menyisakan embun dingin yang belum juga jatuh ke tanah. Bergerombol membuat rimbunan hijau basah sepanjang jalan, seakan menceritakan kemurnian alam ketika telapak kaki tak beralas menginjaknya dengan sengaja. Seorang perempuan berdiri di pelataran rumah setengah terbungkuk, menggesekkan ujung-ujung lidi kepala ke tanah hingga terdengar suara srek, srek berulang-ulang. Sedang di pinggir jalan, seorang lelaki bertelanjang dada menyeseti daun-daun pisang. Dari kelokan jalan, kudengar suara gemerincing lonceng sapi yang dihela menuju petak sawah dekat balai pedukuhan.

Lalu pembicaraan orang tua Kirana saat ini mengacu kepada Ridwan. Ridwan, teman kecil Kirana, memiliki bisnis distribusi bahan pangan di Jakarta, sekaligus seorang anak juragan petani, Pak Sofyan yang menjabat sebagai ketua kelompok tani di Wanastri, yang tidak bisa menolak permintaan orang tuanya, akhirnya akan menikah dengan Kirana karena sudah dijodohkan sebelum Kirana lahir.

Padahal di sudut hatinya paling dalam, Ridwan telah mencintai seorang perempuan asli Bogor bernama Risanti. Di sisi lain hati Kirana pun masih teringat dengan Hiro. Hiro yang terpisah jauh darinya, masih teringat dengan Kirana, dan saat melihat Ismail-san, muallaf dari Jepang, semakin menguatkan Hiro mengetahui lebih jauh tentang Islam. Kirana masih ingin melanjutkan sekolah S2 di Jepang dengan mendaftar beasiswa, dan mengharap pria yang ia nikahi adalah seseorang yang ia cintai.

Tema cinta tema yang tidak habis dibincangkan. Akan tetap abadi sepanjang waktu. Banyak dihasilkan dalam novel “Sakura”, dan cinta cukup rumit seperti Kirana yang mencintai bangsa lain, yang mungkin tak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya.

Sementara itu hari-harinya ia isi dengan mengajar les Bahasa Jepang, dan aktif di GARIS, Gerakan Anti Pornografi dan Pornoaksi. GARIS kebanyakan relawannya adalah mahasiswa-mahasiswa semester akhir. Sampai klimaks GARIS dituntut untuk dibubarkan, namun tak menyurutkan dukungan dari luar negeri.

Namun sisi profetik tetap menjadi ciri khasnya. Ketika Kirana harus merasa kecewa karena pernikahan dengan Ridwan tidak jadi karena Ridwan tidak datang, menimbulkan perih di hatinya, namun Kirana serahkan kepada Allah Swt dan ia berusaha menjalani hari-harinya dengan baik kembali tanpa merasa perlu sedih berkepanjangan.

Mencintai Allah Swt, tak akan pernah merasa bersedih hati, justru yang ia perjuangkan terus dimanapun, misal Kirana istiqamah mengenakan jilbab yang cukup lebar di Jepang, tetap berusaha mencari makanan yang halal, misal ayam, yang ketika disembelih menyebut nama Allah Swt, dan tidak melanggar aturan Nya untuk makan daging yang haram, tetap merasa takjub atas kekuasaanNya karena dapat merasakan empat musim disana, juga shaum senin-kamis yang tidak ditinggalkannya, dan bagi Hiro adalah sesuatu yang tidak habis pikir ‘teramat’ cintanya Kirana kepada Tuhannya.

Di waktu lain, Kirana yang akan memperjuangkan beasiswa S2 ke Jepang bertemu kembali dengan Candra, orang yang ia sering panggil sebutan “Mas-nya” karena belum tahu siapa namanya. Padahal tempo hari Kirana pernah menabraknya secara tidak sengaja.

Tidak menyangka hal tersebut ternyata membuat kesan tersendiri bagi Candra. Candra kemudian ingin menikahi Kirana. Meminta Bang Zulfan untuk menjadi penghubung mereka, meski sebenarnya ia bisa melakukannya sendiri. Ia ingin agar ‘tetap terjaga’. Hal tersebut sedikit banyak mengobati hati Kirana yang sempat terluka karena pernikahannya yang tidak jadi. Impian Candra untuk mengajak istrinya ke Jepang sebentar lagi akan terwujud.

Namun di sisi lain, Candra dicintai juga oleh Tasya, yang mendapat tantangan untuk menaklukkan Candra. Candra dikenal sebagai aktivis masjid, dan Tasya merasa Candra adalah lelaki yang berbeda dan mencintainya.

Namun kepercayaan Kirana runtuh-seruntuhnya saat melihat Candra ada di kediaman Tasya. Hal tersebut menghancurkan perasaan Kirana. Hal tersebut tidak ingin diungkitnya lagi. Akhirnya sudah tiba waktunya Kirana pergi ke Jepang dan sesampainya di Jepang, Hiro menjemputnya di Bandara Narita.

Waktu-waktu selanjutnya dalam moment presentasi di Pekan Ilmiah Indonesia yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Pelajar Indonesia yang ada di Jepang, Kirana bertemu kembali dengan Candra. Sehabis presentasi, Candra mengucapkan selamat karena paper Kirana dinyatakan lolos seleksi, termasuk dengan papernya, dan Candra menegaskan kalau dia menengok Tasya, bukan atas dasar apa-apa selain teman, juga karena Tasya saat itu sedang sakit. Tasya pun sudah meninggal. Hal ini selanjutnya dijelaskan yakni karena HIV yang dideritanya.

Hal tersebut membuat kekalutan pada Kirana, memilih Hiro atau Candra, Nova tidak menegaskan ending dalam novel “Sakura” ini. Siapa sebenarnya yang menjadi pendampingnya, seperti menggantung.

Aku tersenyum, lalu mengangguk dalam. Ini yang kusuka darinya. Ia mendukungku dalam banyak hal, mengajarkanku untuk melumat habis kebiasaan terlambatku yang tak juga hilang, meyakinkanku agar lebih berani mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup, termasuk untuk mendirikan GARIS kembali di Jepang. Tanpanya, rasanya aku tak akan punya daya sebesar ini.

Menurut pandangan strukturalisme (Burhan Nurgiyantoro, 2007: 8), pada hakikatnya merupakan karya cipta yang baru, yang menampilkan bangunan dunia dalam bangun kota dan bersifat otonom. Adapun tugas penulis hanya menulis, dan sidang pembaca dapat menafsirkan maknanya.

Di akhir diceritakan juga tentang perjanjian bertemu di Jepang. Grace mengingatkan dengan mengirimkan surat pada teman-temannya. Grace berharap dapat bertemu dengan Andreas. Tentang masa depannya, ia memutuskan melanjutkan kuliah hingga S3 dengan jurusan yang sama sebagai akademisi, pengamat atau penganalisa film.

Sandra mewakili universitas mengikuti “Short Course Hukum Tata Negara” di Amerika awal musim semi besok. Sedangkan Voleak sedang teramat sedih, kesal pada Jona karena ia telah hamil sebelum menikah.

Andreas, orang yang dicemburui oleh Voleak karena teramat perhatiannya pada Kirana, memutuskan tidak ke Jepang, namun ke Columbia menemui Carina, gadis pujaannya yang telah memutuskan menjadi pendeta.

Semua orang tidak akan berhenti pada satu titik. Semua orang masih harus melanjutkan hidupnya. Semakin hari semain baik ilmunya, amalnya, dan mungkin pendapatannya. []

No comments