PROBLEMATIKA UMAT




Problematika umat di Indonesia memang sudah tak terhitung banyaknya. Dari mulai kemiskinan, tidak meratanya pendidikan pada usia sekolah, masalah kesehatan, dan lain sebagainya. Kita sebagai umat muslim khususnya, sepatutnya prihatin dan berbuat sesuatu untuk negeri tercinta ini.

Rakyat Indonesia yang mayoritas beragama islam ini, mungkin saja ketika dalam melaksanakan shalatnya tidak mengerti apa yang sedang dibacanya. Terasa aneh rasanya, bila yang kita lakukan sejak kecil itu hanya sekadar gerakan, tanpa memaknai apa yang sudah kita lakukan. Mungkin agama lain akan berpikir, umat islam sedang bermantra ya?, dan kalau mereka sewaktu-waktu penasaran dan tidak bisa menahan kepenasarannya, menanyakan apa yang sedang kita baca? Apa yang harus kita jawab?

Masih untung kalau kita mengetahui artinya. Jadi kita bisa menjelaskan pada teman kita. Lalu, kalau tidak tahu artinya? Apa yang mau kita jelaskan pada teman kita? Malu kan, ya?!

Dari yang terkecil saja, ketika bertakbiratul ihram, kita terkadang masih saja membayangkan masalah-masalah yang kita hadapi. Hati kita masih belum shalat, begitu kata guru saya. Masih saja kita membayangkan hal-hal seperti kunci rumah hilang dimana, pe-er apa saja yang belum, kompor sudah dimatikan atau belum.

Indonesia yang penduduk muslimnya lebih dari 200 juta ini, kebanyakan penduduknya miskin. Mengapa bisa seperti itu? Ini termasuk problematika umat. Dahulu kebanyakan umat islam yang memberi. Lihat saja para sahabat Rasul yang rela mendermakan hartanya demi islam. Kalau bukan karena bukti kecintaan mereka, tentu mereka tak akan melakukannya. Itu artinya umat Islam dahulu kebanyakan kaya, bukan?!

Mereka saat diangkat menjadi khalifah sudah kaya, jadi mustahil mereka mengambil harta negara. Mereka menggunakan jabatannya sebagai ibadah, mendekatkan diri kepada Allah. Cara mereka melakukannya dengan harta yang melimpah dari zakat, mereka bagikan pada mereka yang membutuhkan. Bahkan pernah sampai kebingungan, karena harta zakat masih banyak, namun semuanya telah mendapat bagian.
Lalu, mengapa sekarang menjadi sengsara begini?

Ini menjadi perhatian kita juga sebagai umat islam. Bukan maksud menyakiti hati siapa-siapa, tapi melihat realitas juga, kebanyakan umat islam tidak banyak mengerti tentang islamnya sendiri. Lihat saja, banyak yang kurang ilmu pengetahuannya tentang islam. Entah mereka menyengaja tidak mencari ilmu tentang islam karena berbagai macam seribu satu alasan, atau lebih cenderung menganggapnya kuno dan fanatik.

Padahal fanatik dalam agama itu tidak apa-apa, sepanjang membela agama bila dijelek-jelekkan, dan lain sebagainya. Apalagi menunjukkan identitas kita pada seluruh dunia –misal—bahwa kita bangga menjadi seorang muslim!

Dulu, masih ada pengajian di surau-surau. Masa kecil dilewati dengan mengaji baik di desa maupun kota. Namun semakin hari bukannya makin bertambah, sekarang mungkin sudah jarang karena banyaknya westernisasi yang masuk ke negara Indonesia. Yang semakin tidak kita sadari, semakin membuat kita jauh dari Islam.

Mendengar uraian Ust. Aam Amiruddin, pada masa penjajahan Belanda dulu, ada seseorang yang sengaja mendalami agama islam selama tiga tahun di Mekkah. Namanya Snouk Hourgronje. Ia berpura-pura masuk islam, untuk kemudian diotak-atik. Sekembalinya ke Indonesia, ilmu yang ia peroleh disana, banyak ia ubah. Seperti ada rumus-rumusnya. Ia mengatakan pada teman-temannya, jangan menyuruh umat islam untuk berpindah agama, karena pasti mereka akan berontak. Cukup saja dengan menjauhkan mereka dengan Al Quran. Kalaupun membaca Al Quran, jangan sampai tahu artinya. Dan efeknya bisa kita rasakan sekarang ini. 

Umat islam banyak yang terbawa oleh pengaruh itu. Seperti juga saat orang meninggal dunia, dianjurkan membaca surat Yasin. Padahal tidak ada dalil kalau orang meninggal, membaca surat Yasin. Kalau ingin anak cantik, baca surat Maryam. Padahal tidak ada contohnya seperti itu. Yang dianjurkan adalah membaca semua surat dalam Al Qur’an dan juga memahaminya dengan membaca artinya.

Umat islam juga memang diajarkan untuk terus bertawakkal dan berdoa. Namun jangan jadikan takwa, ikhlas, sabar dan syukur itu suatu ukuran, tanpa kita berikhtiar yang maksimal. Lihatlah pemimpin kita yang terdahulu, zaman sahabat Rasulullah.

Problematika umat itu sangat banyak. Di keseharian saja kita sudah melihat banyak westernisasi dari mulai budaya pakaian, makanan, fashion, dan sebagainya. Meski dalam islam memang diharuskan memakai jilbab, kita tidak bisa memaksa saudara kita semuslim untuk memakainya. Dengan kita mencontohkannya saja, itu cukup memberitahu mereka, sehingga bagi mereka yang penasaran tentu akan bertanya, kok kamu pake kerudung sih? Nah, disitulah ladang kita untuk menjelaskan.

Menjadi tugas bagi umat muslim adalah bagaimana mengemas problematika umat ini dimulai dari dirinya sendiri terlebih dahulu, sebelum mewarnai lingkungannya. Umat muslim tidak bisa unggul dalam satu bidang saja. Semua bidang harus tertangani dengan baik. Ada yang harus pandai dalam perminyakan, industri, manajemen, dan lain-lain. Tidak bisa hanya setengah-setengah.

Salah seorang figur, Ustadz Abu Rabbani yang memiliki LTQ Jendela Hati, dulunya berjuang itu sejak awal dengan bermodalkan tekad yang kuat dan berkomitmen saja. Hingga akhirnya sampai sekarang tentu harus merasakan jatuh-bangun yang bukan sekali-dua kali.

Kita sebagai umat muslim tidak bisa hanya memikirkan problematika umat saja. Harus terdapat pemecahan masalah dan tindakan nyata yang dapat diaplikasikan. Tidak hanya sekadar ucapan yang menggebu-gebu, namun ada sesuatu yang dilakukan. Meski dari kacamata kita itu tidak berarti apa-apa, tetapi siapa tahu dari yang sedikit itu bisa meluas dan membesar gunanya bagi orang lain.

Gunakanlah waktu dengan sebaik-baiknya, dan sebagai ladang amal untuk kebaikan. Seperti Raihan dalam nasyidnya ’Demi Masa’ yang mengutip dalam Al Quran surat Al Asr ayat satu sampai tiga. Insya Allah.


No comments