FLP, Sastra, dan Islam


Sekolah merayakannya dengan kajian novel, komunitas literasi membahasnya lewat bedah buku. Kampus pun tak ketinggalan mengapresiasi sebuah karya sastra lewat diskusi, kritik sastra, bahkan apresiasi tersebut dibukukan dalam skripsi bahkan tesis.

Di dunia sastra, kita mengenal sastra lewat bacaan yang sering diulas di kampus-kampus kenamaan di Indonesia. tak jarang bernafaskan kebebasan, dan kalau sastra santun, ya FLP. Mungkin jarang orang awam yang membaca karya-karya FLP karena menganggap tulisannya seputar itu: hijrah, shalat, symbol, masjid, dsb.

Namun ada juga yang menggarap secara serius dan beberapa memang patut diperhitungkan. Sampai saat ini, saya kagum dengan tulisan Benny Arnas dan Mbak Afifah Afra.

Mereka orang-orang hebat yang telah menulis dan ketika bergabung di komunitas, mereka tinggal bertemu penulis-penulis lainnya, dan mengenalkan tulisannya.

Tak semua yang bergabung di FLP sudah mahir menulis, kebanyakan memulai dari nol, bahkan minus. Dari nol itu mengawali tulisan dengan tulisan-tulisan sederhana. Banyak juga yang mulai sadar berbahasa karena dalam menulis juga butuh kosakata.

FLP sebagai sebuah gerakan literasi di Indonesia menjadi satu bangunan yang bisa memberikan kesadaran literasi terhadap masyarakat awam. FLP hubungannya sangat erat sekali karena terikat dengan Islam, karena merupakan salah satu pilar dari 3 pilar, yaitu keislaman.

Sehingga hal yang lumrah jika karya-karya yang diusung oleh FLP adalah karya yang santun, tidak terkait SARA ataupun pornografi.

Al Quran berkata tentang Penyair 

Dalam Al Quran sendiri, surah Al Alaq menegaskan perintah untuk membaca. Bahkan di Al Quran terdapat satu surah tentang Penyair yaitu QS Asy Syuara (Para Penyair).

Terlebih dalam Al Quran disebutkan ternyata ada penyair yang diikuti oleh orang-orang yang sesat; mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya. Ada juga penyair yang beriman dan berbuat kebajikan dan banyak mengingat Allah (karena menjawab puisi-puisi orang kafir) terdapat dalam QS Asy Syuara 224-227.

Meski terkadang pekerjaan penyair dan penulis masih dianggap sebelah mata, syair merupakan bagian penting dari dakwah. Di zaman Rasulullah saw., posisi syair setara dengan media hari ini yang bisa menguasai opini di masyarakat. Di Indonesia, zaman orde lama, syair dapat membuat ketakutan para penguasa kala itu.
*

21 Tahun FLP


FLP sudah berusia 21 tahun sejak didirikan kali pertama tanggal 22 Februari 1997. Setelah pergantian Ketua FLP pusat beberapa kali dari Mbak Helvy Tiana Rosa (1997-2005), berlanjut Irfan Hidayatullah (2005-2009), Izzatul Jannah (2009-2013), Sinta Yudisia (2015-2017), dan saat ini Mbak Afifah Afra (2017-2021).


Hingga saat ini tercatat FLP memiliki cabang di 32 provinsi dan 12 cabang di luar negeri. Jumlah anggotanya beranggotakan sekitar 13.000 orang, yang hampir 70 persen anggotanya adalah perempuan. (Wikipedia)

Meski saat ini anggota FLP tersebar di seluruh Indonesia, yang benar-benar dikenal khalayak umum masih beberapa. Habiburrahman el Shirazy berhasil memfilmkan karya Ayat Ayat Cinta. Penulis FLP lain yang muncul ke ruang publik layar kaca terlibat dalam skenario pun eksis.

Memiliki Alasan kuat untuk Menulis 

Dari sekian banyak anggota FLP, orang-orang yang bergabung di FLP memiliki another job lain sehingga ada yang menganggap menulis sebagai selingan, kecuali bagi mereka yang sudah memiliki alasan kuat untuk menulis.

Seperti beberapa waktu lalu, ketika hadir dalam acara Pesantren Sastra FLP Bandung (07/04/18), pembicara Menafsir Hamka yakni Mbak Sinta Yudisia mengatakan bahwa beliau tidak mengandalkan fee atau penghasilan dari menulis. Beliau misalnya, memiliki another job yang lain yaitu seorang Psikolog.

Beliau memiliki alasan kuat untuk konsisten menulis sehingga karya novelnya pun mencapai 60-an. Mbak Sinta menuliskan di dinding kamarnya yakni kata-kata Umar Mukhtar, "Walaupun kalian mematahkan tulang-tulangku, kalian akan kalah oleh 1 jari." (Bukan hal yang mustahil hal ini juga dipunyai oleh penulis-penulis hebat di Indonesia sekaliber Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, Asma Nadia, Benny Arnas, dsb).

Mengapa menulis menjadi semangat tersendiri ketika penulis konsisten dalam karya-karyanya. Ada yang ingin menjadi pejuang dengan menulis, dakwah dengan menulis (daiyah/muharrik), dan seterusnya.

Hanya saja ketika menulis ada yang memiliki nafas panjang dalam menulis, dan ada yang nafasnya pendek. Nafas panjang ketika sabar menulis novel, dan nafas pendek menuliskan cerpen.

Namun menjadi sebuah evaluasi juga ketika kang Irfan Hidayatullah mengatakan bahwa FLP merupakan sebuah gerakan namun belum dibarengi dengan kualitas karya-karya anggotanya.

Baca juga: Satu Jam Menulis Serentak FLP: Fokus Garap Tulisan

Kualitas karya anggotanya yang mungkin belum sesuai harapan. Maka agar bisa dibarengi dengan kualitas karya anggota-anggota FLP, maka kekuatan harus dipunyai oleh anggota FLP yakni rajin membaca karya-karya kualitas yang bagus, kemudian angota dapat mulai rutin menulis dan mengirimkan karya-karya ke media massa, sambil terus berikhtiar dan berdoa agar tulisan atau karya ada yang dimuat. Selamat berkarya lewat pena!

No comments