CERPEN: SAKSI BERDARAH
Sri Al Hidayati
Aku masih termenung dalam sebuah kamar bersuasana ungu,
sementara sisa-sisa tetes hujan terlihat dari jendela kamar, pikiranku berlari.
*
Kulihat ada seorang anak yang berkejaran dengan pagi. Ia
dengan badannya yang penuh bintik-bintik dan baju yang lusuh, tanpa alas kaki
pula, menggenggam sebuah kecrek.
Bermodalkan suara pas-pasan ia bernyanyi, melantunkan lagu
Andai Ku Tahu-nya Ungu. Suara dan ketukan musik yang tak bisa disebut indah
membuat penumpang yang duduk di dekatnya risih, adapun salah satu ibu yang
lekas memberinya uang selembaran seribuan dan menyuruh anak tersebut turun.
Sayang ia enggan dan lebih memilih duduk di dekat pintu, dan
membuat penumpang yang duduk dekat dengannya menggeserkan badannya sedikit,
sehingga angkutan umum yang sesak itu terasa lebih panas, di samping mobil
begitu macet karena adanya pawai menghadapi perayaan kemerdekaan negeri ini.
Ada waktu lebih dari lima belas menit terkurung dalam angkot
membuat anak kecil itu tak mau menyia-nyiakannya. Langsung saja ia melangkah
dari satu mobil ke mobil lain untuk menjual suaranya. Dan tiba-tiba lima belas
menit kemudian ia berlari dengan uang di kantongnya dan berlalu menyebrangi
trotoar.
Ia pun duduk setelah membeli sebungkus nasi kuning di
pinggir jalan. Dalam kemacetan dengan lahap dimakannya nasi tersebut
dipadu-padankan dengan air teh. Tiba-tiba ia berteriak. Ia melihat pelangi!
Orang-orang tak menghiraukannya. Bukankah tadi tak ada?, ungkapnya. Kini
terlihat ia menggapai-gapai tangannya.
Setelah menghabiskan tetes terakhir air teh tersebut, ia
mengejar pelangi itu. Dengan terburu ia tak mau kehilangan pelangi itu.
Tersenyum ia mengejar pelangi itu dan mendapatinya di atas jembatan
penyebrangan. Ia ingin merasakan, meluncuri pelangi itu. Terkagum-kagum ia
memandangi warna-warna itu. Kreasi warna yang cantik membuatnya diam sejenak.
Merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu, sungguh indah! Ia menggumam.
Tibalah ia berdiri dan menyunggingkan sebuah senyuman
terindah. Sudah lama ia ingin merasakan hal yang sama, seperti anak-anak
seusianya. Dan kini tak mau disiakannya, meluncurlah ia makin kencang.
Orang-orang terfokus pada masing-masing pikiran. Terkaget-kaget
melihat ada seorang anak tersenyum dan menggenggam pelangi. Dan bergemalah
penyesalan. Riuh. Saat badan jalan lowong, tinggal kecreknya-lah yang
bertengger pada aspal yang ternoda oleh bercak darah.
*
Aku masih termenung dalam sebuah kamar bersuasana ungu,
sementara sisa-sisa hujan telah menyusut dan kering. Yang kulihat kini senja
telah datang dan telah membungkus diriku yang hening dalam kesunyian.*
Keterangan: Tulisan ini dimuat di kolom Belia, koran Pikiran Rakyat, 23 Oktober 2007. Cerpen ini juga dimasukkan ke kumpulan cerpen FLP Bandung "Menggenggam Pelangi" :)
No comments