Review Buku: Ayah, Kisah Buya Hamka

Review buku Ayah, Kisah Buya Hamka

Buku ini berhasil menyedot perhatian bahkan sejak awal, tengah, dan akhir. Tulisan yang mengena sekali. Terasa suasana kerinduan anak pada Ayahnya saat membaca buku ini. Tertarik sejak awal bagian satu, yakni ketika sosok Buya Hamka setiap bada ashar kerap menerima tamu di rumahnya, dan mempertanyakan permasalahan rumah tangga mereka kepada Buya Hamka untuk mendapat nasihat dari beliau. Pertama tentang permasalahan istri yang ingin bercerai dari suaminya yang menikah lagi tanpa sepengetahuannya, dan curhat seorang istri yang sudah tidak tahan atas perlakuan suaminya yang dingin.

Buya Hamka menjawab persoalan dengan kalimat seperti ini, “Hanya ini yang bisa Buya sampaikan kepada Ananda. Buya dilarang oleh agama untuk menganjurkan Ananda minta cerai kepada suami. Dan Buya pun tidak berhak menganjurkan Ananda untuk bersabar saja. Keputusan ada di tangan Ananda sendiri. Semua bergantung akan tinggi rendahnya iman seseorang kepada Allah. Sekian, ya?!” Ayah mengakhiri nasihatnya.

Empat bulan kemudian, perempuan muda yang pernah meminta nasihat kepada Ayah itu datang kembali ke rumah menemui Ayah. …”Buya saya lebih takut kepada Allah daripada takut dimadu.”
Buku ini ditulis oleh anak ke-5 Buya Hamka, Irfan Hamka. Pengalaman berdesak-desakan membuatnya ingin membukukan apa yang telah ia alami, dan lalui bersama Sang Ayah. Sejak ia kecil, remaja, dewasa, dan belajar dari ketegaran Ayahnya saat menjadi ketua MUI.

Buya Hamka kecil 
Di dalam buku ini memakai sudut pandang penulis, yang memanggil Buya Hamka dengan panggilan Ayah, namun diulas di blog ini telah digubah dengan memakai sudut pandang ketiga, sehingga nama Buya Hamka yang ditulis.

Buya Hamka ketika kecil, kurang kasih sayang karena kedua orang tuanya telah bercerai, ketika beliau masih memerlukan kasih sayang kedua orang tuanya. Hamka tumbuh senang membaca buku dan menuntut ilmu. Ketika berusia 13-14 tahun, beliau telah membaca pemikiran-pemikiran Djamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh dari Arab. Dari dalam negeri, beliau mengenal pula pemikiran-pemikiran HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, H. Fachruddin, dan lain-lain.

Pada Juli 1924, dalam usia 15 tahun, Hamka meminta izin pada Innyiak Doktor (Ayah Buya Hamka) untuk berangkat ke Jawa. Pada saat pulang ke Padang Panjang didirikan Sekolah Muhammadiyah. Pada saat itu memerlukan guru. Banyak yang diterima, namun karena Hamka tak punya diploma akhirnya Hamka ditolak menjadi guru di sekolah Muhammadiyah, yang ayahnya sendiri ikut mendirikannya.

Akhirnya Hamka berketetapan hati untuk mengembara sambil mencari ilmu. Tujuan beliau adalah berangkat ke Mekkah. Ketika itu usia Hamka belum berumur 18 tahun. lebih dari tujuh bulan Hamka bermukim di kota Mekkah. Selama di Mekkah, Hamka membiasakan diri berbicara dengan menggunakan bahasa Arab, walaupun dengan sesama orang Indonesia yang bermukim disana. Hamka sangat ingin melancarkan kemampuan bahasa Arabnya.

Hamka merasakan penderitaan yang sangat pahit di Mekkah. Untuk memenuhi biaya hidup agar tidak menanggung rasa lapar, Hamka bekerja sebagai pegawai di sebuah percetakan. Dalam gudang percetakan itu terdapat puluhan buku-buku agama. Di sela-sela pekerjaannya dari pagi sampai sore, Buya Hamka memanfaatkan waktu istirahatnya untuk membaca beragam buku agama. Mulai dari pelajaran tauhid, filsafat, tasawuf, sirah, dan banyak lainnya. (hlm 236)

Buya Hamka dan kedekatan dengan anaknya 

Pernah saat Irfan asik membaca padahal telah masuk shalat Isya, Irfan berbohong kepada Ayahnya karena keceletot berkata ia telah shalat padahal belum. “Ada tiga syarat yang harus dimiliki oleh orang yang suka berbohong. Pertama, orang itu harus memiliki mental baja, berani, tegas, dan tidak ragu-ragu untuk berbohong. Jangan seperti kamu tadi. Kedua, tidak pelupa akan kebohongan yang diucapkannya. Ketiga, harus menyiapkan bahan-bahan perkataan bohong untuk melindungi kebenaran bohongnya yang pertama. … Satu hal yang harus kau ketahui. Orang yang selalu berbohong, lama kelamaan si pembohong ini tidak bisa lagi membedakan antara kebohongan dengan kebenaran yang diucapkannya. Akhirnya masyarakat tahu bahwa dia seorang yang sering berbohong, lalu diberi gelar Si Pembohong.” Ayah mengakhiri nasihatnya.

Kisah yang tak pernah terlupakan juga saat terbawa kereta api ke Padang Panjang ditulis dalam buku ini, saat Ummi dan kakak-kakaknya cemas karena Irfan dan Aliyah tak kunjung ketemu. Awalnya iseng karena sehabis membeli tebu, ternyata kereta apinya berjalan jauh. (Hlm 28-34)

Buya Hamka juga pandai silat dan irfan sangat ingin belajar silat pada Ayahnya. Kelak diceritakan apa yang Buya Hamka ajarkan seperti jurus menukar-nukar, dapat membantunya kelak ketika dewasa. Kemudian Irfan belajar silat dari Paman, dan Ayah meminta pada pamannya tersebut untuk melatih jurus-jurus mempertahankan diri saja.

“Ayah tahu akan sifatku yang mudah marah dan temperamen, jadi tidak baik diturunkan imu silat untuk menyerang dan berkelahi.” (hlm 55)

Kebiasaan Buya Hamka 

Salah satu kebiasaan Ayah, ia tak akan berhenti membaca Alquran sebelum ia mengantuk. Beliau akan terus membacanya sampai 2-3 jam. Karena itu, Ayah bisa menghabiskan 5-6 jam sehari hanya untuk membaca Alquran.

Berangkat haji ke Baitullah 

Kesan yang paling mendalam juga dituliskan Irfan yakni saat Ayah, Ummi dan Irfan pergi berangkat haji ke Baitullah. Bertiga mendapat kuota istimewa sebagai hadiah dari Pd. Presiden Jenderal Soeharto. Berangkat menggunakan kapal Mae Abeto di kapal tersebut menyediakan sarana bermain karambol, pingpong, catur, bioskop, kolam renang yang tak pernah ada airnya, juga menyediakan tempat shalat, yaitu sebuah masjid yang terletak di lantai II dan bisa menampung 100 jamaah laki-laki dan perempuan. Menjelang maghrib diperdengarkan pengajian Al Quran yang dilanjutkan dengan kumandang adzan maghrib.

Diceritakan juga ketika perjalanan akan kembali ke Mekkah, akhirnya Buya Hamka dan keluarga menempuh jalur melalui darat, karena Ummi trauma saat di pesawat yang mulau terguncang dan memasuki daerah kosong udara.

Dalam perjalanan menempuh gurun pun, Irfan Hamka menuliskan kisah yang sangat berkesan karena saat perjalanan menempuh gurun harus menemukan dua kejadian luar biasa. Pertama dikejar angin topan gurun pasir yang dahsyat. Saat itu tak ada kata lain selain berdzikir menyebut Allah, “… dan di dalam mobil ada suara zikir ‘Allah, Allah’ dilakukan banyak orang. Suara itu menggema di dalam mobil. Mendengar suara zikir yang terdengar dilakukan oleh banyak orang sedangkan dalam mobil hanya kita  berempat. Betul-betul sebuah mukjizat dari Allah” Umar pemuda Arab dari Bogor yang menjadi sopir Buya Hamka bertutur.

Kedua, terjadi saat Umar menyetir mobil sambil tertidur dengan pulas. Saat itu Irfan terkejut karena ikut tertidur pulas dan langsung membangunkan dengan membalurkan isinya ke telapak tangan minyak angina merk PPO. Umar sontak menginjak rem mobil yang sedang melaku dengan kecepatan 120 mil per jam. Mobil tidak langsung berhenti. Meluncur terus dengan cepat, zigzag, dan berputar-putar. Mobil baru berhenti ketika kedua roda sebelah kanan masuk ke dalam pasir. Yang ditakutkan Irfan adalah mobil tidak berputar-putar, langsung terjungkal, saat Umar mengerem mendadak.

Belajar dari Ummi, istri Buya Hamka

Kisah kebaikan Ummi, istri Buya Hamka pun dituliskan dalam buku ini. Bagaimana sabar dan jiwa penolongnya kepada sesama. Ayah pernah ditawari pangkat Mayor Jenderal Tituler oleh Pemerintah melalui Jenderal Nasution. Namun Ummi menolaknya, dan memberi saran agar Buya Hamka tetap berperan di Masjid Agung Al Azhar –lebih terhormat di hadapan Allah, cerita Kak Azizah menirukan apa yang ketika itu Ummi sarankan kepada Ayah.

Selain itu juga Buya Hamka juga pernah ditawari oleh Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali menjadi Duta Besar dan berkuasa penuh di Negeri Saudi Arabia. Namun Ummi yang sederhana dan bijaksana itu memberi pandangan lain. “Angku Haji, umat mulai semarak saat ini. Dakwah yang semakin semarak itu semua dimulai dari Angku Haji. Di masjid ini, apa yang Angku Haji bina telah terpancar dan dicintai umat. Apa semua yang baru ini akan ditinggalkan begitu saja dan diganti dengan kegiatan sebagai Duta Besar? Sebagai Duta Besar, hampir tiap malam nanti Angku Haji harus menghadiri jamuan yang diadakan oleh para Duta Besar yang berada di Arab itu. Lalu kapan waktu yang tersedia untuk Angku Haji mengaji Al Quran yang tidak pernah ditinggalkan sejak kecil? Kapan waktunya untuk membaca dan menambah ilmu? Kapan pula waktunya untuk menjalankan hasil ilmu yang Angku Haji dapatkan dari membaca itu?” Ummi menyampaikan pandangannya kepada Ayah.

Mendengar pandangan teman hidupnya yang setia, dengan tulus dan lapang hati Ayah menerimanya.
Bahkan ketika Buya Hamka ditahan, Ummi menjadi orang yang tegar, dan tidak mau mendapat belas kasihan orang. Ummi pernah datang ke rumah pemilik penerbit hendak bertanya masih adakah bersisa uang honor Buya yang belum dibayar, namun belum sempat Ummi bertanya, pemilik penerbit itu berkata bahwa, “Begini ummi, kami mendapat musibah, buku-buku Buya yang baru dicetak disita orang. Bahkan di atas mesin cetak juga diangkut. Dari mana kami dapat uang. Saya bergegas sekarang. Ummi, ini ada uang sedekah dari saya bisa untuk membeli beras.”

Ummi yang memiliki harga diri tidak mau menerima pemberian tersebut, karena maksud hatinya adalah ingin mengambil honor yang bersisa. Sepanjang jalan bersama Irfan Hamka, Ummi seperti menghapus air matanya. Tak disangka sorenya, ada tamu ke rumah, memberi uang karena tanah miliknya laku, dan telah berjanji ada bagian untuk Buya. Ada juga uang zakat, semula Ummi bersikukuh menolak pemberian zakat tersebut, namun setelah beberapa kali dijelaskan dengan argumentasi yang masuk akal dan pemahaman agama yang Ummi pegang teguh, akhirnya Ummi bisa menerimanya.

Sikap Tegas Buya Hamka

Sewaktu MUI mengeluarkan fatwa haram hukumnya bagi umat Islam mengikuti perayaan Natal bersama, pemerintah keberatan atas fatwa tersebut. Karena bertentangan dengan pemerintah, Ayah kemudian mengambil sikap tegas, menyatakan mengundurkan diri dari jabatan sebagai Ketua Umum MUI Pusat.

“Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah semata. Ulama yang telah menjual diri kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak manapun,” kata Ayah tegas.

Soekarno berkata, “Saya ingin bila wafat kelak, Hamka bersedia mengimami shalat jenazahku.”

Moh. Yamin berkata, “Bila saya wafat, tolong Hamka bersedia menemani di saat-saat akhir hidupku dan ikut mengantar jenazahku ke kampung halamanku di Talawi.”

Pramoedya Ananta Toer, “Saya lebih mantap mengirim calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik.”

Karya-karya Buya Hamka diangkat ke layar lebar seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Karya yang paling fenomenal beliau adalah Tafsir Al Quran 30 juz yang ia tulis di dalam penjara, yang bernama Tafsir Al Azhar.


Judul: Ayah... Kisah Buya Hamka masa muda, dewasa, menjadi ulama, sastrawan, politisi, kepala rumah tangga, sampai ajal menjemputnya.
Penulis: Irfan Hamka
Cetakan: 2, Juli 2013
Penerbit: Republika Penerbit
Tebal: 324 halaman
ISBN: 978-602-8997-71-3

No comments