Dakwah, Cinta dan Perjuangan Buya Hamka


DAKWAH hari ini kita bisa lihat fenomena hijrah dimana-mana. Bukan saja dari kalangan pemuda kita di kampus, atau di sekolah, namun juga sampai pada kalangan ARTIS. Artis yang biasanya sibuk dengan jadwal syuting dan seterusnya, sekarang berbondong-bondong datang ke kajian ustadz-ustadz. Masya Allah.

Zaman telah berubah, teknologi semakin berkembang, serta metode dakwah pun berbeda. Para Pemuda Muslim hari ini bisa jadi lebih banyak beraktivitas dalam aksi nyata, dan juga dalam sosial media.

Lalu apa Aktivis Dakwah hari ini senang membaca? Pada saat kajian FLP pada 6 Oktober 2018 yang lalu, di Wisma PKBI, Bandung, M. Irfan Hidayatullah, dosen FIB UNPAD, dan Ketua Dewan Pertimbangan FLP menyatakan bahwa, “Kekurangan Aktivis Dakwah sekarang adalah jarang membaca!”

Coba diingat, kapan terakhir kita membaca Koran?

Kita kini lebih mengandalkan informasi dari gadget dan mungkin juga berjauhan dengan buku.
Irfan Hidayatullah juga menanyakan kembali, “Adakah anak FLP –yang kebanyakan anggotanya aktif dalam dakwah—yang gila baca buku? Kita kalah dengan mereka yang begadang. Setelan rambut gondrong, sehari-hari merokok dan ngopi, tapi mereka gila baca dan buku apa saja dibaca! Jadi sayang bagi kita kalau ceramah kesana kemari, tapi gak nulis.”
Hal yang menohok juga beliau bercerita bahwa, “Ada dosen di sebuah universitas yang menulis (selain mengajar), tapi dia gay. Split. Kita angkat topi untuk mereka. Tapi tidak sesuai. Tidak seideologi dengan kita.” Lalu bagaimana dengan kita?

Di satu sisi orang lain sudah melesat jauh, kita sekarang sudah berada dimana? Aktivis dakwah hari ini bisa menjadi teladan saat ia banyak membaca dan menulis. Aktivis dakwah yang senang membaca, ia tak akan kehilangan waktu, justru ia akan mengisi ruhaninya dengan ilmu, membuka wawasan atau pengetahuan dalam hal baru. Aktivis dakwah yang menulis, hal yang ia lihat, dengar, dan baca bisa ia rangkum menjadi tulisan yang bermakna, penuh hikmah, dan ‘berdaging’ istilah sekarang.

Pemuda hari ini, apakah mengenal sejarah masa lampau bahwa ada Ulama Indonesia yang juga menulis? Ya, beliau adalah Buya Hamka. Beliau Ulama juga sastrawan. Memiliki nama lengkap Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, lahir di Sumatra Barat, 17 Februari 1908. Nama penanya Hamka, sedangkan Buya adalah panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam Bahasa Arab yang berarti ayahku, seseorang yang dihormati.

Bagi pegiat literasi, nama Buya Hamka sudah tak asing lagi. Karya-karyanya yang sudah secara pribadi saya baca, diantaranya: ‘Falsafah Hidup’, dan auto biografi Hamka berjudul ‘Ayah’. Novel beliau saya baca lewat pdf ada ‘Tenggelamnya Kapal Van der Wijck’.

Baca juga: Hamka dan Karyanya "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" 

Karya lainnya yang sudah dalam bentuk film yang sudah saya tonton filmnya adalah “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Sedangkan sisanya, masih banyak buku beliau yang belum saya baca dan ingin saya baca sekali terutama non-fiksi, termasuk karya fenomenal beliau ‘Tafsir Al Azhar 30 juz’.

Buya Hamka ulama yang tegas, keras dan berkarakter. Beliau berkarakter kuat, tidak bisa dibeli oleh materi dan tidak silau popularitas.

Terbukti saat beliau diangkat menjadi ketua MUI pertama di Indonesia pada tahun 1975 yakni di usianya 67 tahun, beliau memasang syarat saat akan diangkat menjadi ketua MUI syaratnya adalah tidak digaji. Dan ketika zaman Pak Harto memimpin, saat itu jarak Natal dan Lebaran berdekatan. Buya Hamka memfatwakan HARAM mengucap selamat dan ikut merayakan Natal.

Kemudian Buya Hamka diminta untuk mencabut fatwa tersebut, tetapi beliau menolak. Ia dengan tegas menyatakan haram mengucapkan perayaan Natal dan ikut merayakannya.

Bahkan ia lebih memilih mengundurkan diri ketimbang mencabut fatwa itu. Untuk dirinya standar lebih tinggi lagi, Buya Hamka mengatakan kalau mengucapkan perayaan natal berarti telah MURTAD karena kita mengakui Tuhan mereka.

Kebersihan Tauhid beliau mesti kita ikuti, yakni tidak ada Tuhan melainkan Allah Swt. Ketegasan beliau dalam membela agama Allah Swt. juga harus kita ikuti saat ini.

Dalam buku ‘Ayah’, Buya Hamka dengan tegas berkata bahwa,“Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah semata. Ulama yang telah menjual diri kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak manapun.”

Sebagai aktivis dakwah pun, kita mesti belajar dari beliau untuk gemar membaca. Beliau ketika merantau ke Mekah (pada usia 18 tahun), Hamka bekerja sebagai pegawai di sebuah percetakan.

Dalam gudang percetakan itu terdapat puluhan buku-buku agama. Di sela-sela pekerjaannya dari pagi sampai sore, Buya Hamka memanfaatkan waktu istirahatnya untuk membaca beragam buku agama. Mulai dari pelajaran tauhid, filsafat, tasawuf, sirah, dan banyak lainnya. (Buku Ayah, hlm 236)
Pada Juli 1924, dalam usia 15 tahun, Hamka meminta izin pada Innyiak Doktor (Ayah Buya Hamka) untuk berangkat ke Jawa. Bahkan ketika berusia 13-14 tahun, beliau telah membaca pemikiran-pemikiran Djamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh dari Arab. Dari dalam negeri, beliau mengenal pula pemikiran-pemikiran HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, H. Fachruddin, dan lain-lain.

Buya Hamka ini Ayah dan Ibunya bercerai, namun Buya Hamka dapat membuktikan kalau dirinya mandiri, dan sukses.

Bagaimana dengan kita? Suka membaca buku-buku pemikirankah? Bukan sekadar komik, atau novel hore-hore, tapi coba sesekali –atau sering juga gak apa-apa-, membaca buku "Falsafah Hidup" salah satunya adalah buku yang merenungi makna hidup.

Buya Hamka menulisnya puluhan tahun yang lalu namun isinya sarat hikmah, detail, dan tetap bisa diterima kandungannya untuk persoalan-persoalan masa kini. Ternyata buku yang saya baca ‘Falsafah Hidup’ merupakan buku berseri (serial), dari 4 buku. Tiga buku lainnya, yakni Tasawuf Modern, Lembaga Hidup dan Lembaga Budi.

Jangan kalah kita sebagai generasi muda untuk maju dan gemar menggali ilmu dari sejarah masa lampau. Apa kita gemar nonton Korea? Atau meniru gaya Barat? Terkadang kita menganggap itu adalah keren sehingga kalau ketinggalan kita menjadi kurang update (kudet) atau udik.

Padahal itu bukanlah esensi. Buya Hamka dalam bukunya ‘Falsafah Hidup’ mengungkapkan bahwa, “Hidup secara Barat yang nampak secara lahir serbasenang, tak perlu ditiru bila tidak sesuai dengan kemampuan kita.”

“Tidak sedikit orang berusaha mencari kegembiraan kesana kemari. Di Eropa dan Amerika disediakan kabaret, casino, night club, bioskop dan tempat-tempat dansa, dan ini pada akhirnya pindah pula ke Negara kita, dengan mendirikan club-club, taman bacaan, gedung pertemuan, dan lain-lain. Lalu dijual disana minuman keras, karena dengan minuman keras itu orang lupa pada segala kesusahan.

Diadakan pula perjudian untuk perintang hati, kadang-kadang dibawa kesana istri dan kekasih atau tunangan. Mereka menyangka dengan berbuat demikian timbullah kegembiraan dan datanglah sukacita.” (Falsafah Hidup, hlm 197)

Setelah Indonesia merdeka, kita berkenalan lebih dekat dengan bangsa-bangsa lain, terutama bangsa Barat. Kita mulai mengenal “jalan hidup orang Amerika” (American Way of Life). Kita kagum melihat, lalu setengah orang ingin meniru. Tetapi yang ditirunya hanya kulit. Dia tidak hendak tahu, apakah isi yang menimbulkan kulit itu. Orang Amerika itu telah mulai jalan ratusan tahun yang lalu, mereka membangun dari bawah dan merdeka waktu yang lama, hingga bisa mencapai kejayaan teknologi, dan sebagainya. Padahal kita, saputangan, dasi, dan kaus kaki pun masih membeli dari luar negeri.

Bagaimana dapat meniru Way of Life orang Amerika, dan tidak hendak membuat ‘Indonesian Way of Life’ sendiri. (Falsafah Hidup, hlm 199)

Buya Hamka pun menjelaskan betapa penting hidup sederhana. “Tidak ada orang yang dapat mengingkari bahwasannya keperluan hidup amat banyak, kemauan manusia berbagai ragam. Sebab itu manusia perlu berusaha. Perlu memperbanyak mata pencaharian, mencari usaha yang baru. Perlu duduk sama rendah, tegak sama tinggi dengan orang lain di masyarakat. Kalau tidak ada mata pencaharian, awak akan dilecehkan orang.”

Beliau pun melanjutkan lagi, “Hidup di dalam rumah tangga yang berbahagia tidak perlu mesti rumah bagus, yang perkakasnya amat banyak memenuhi rumah sejak dari beranda muka sampai ke dapur. Itu bukan menjadi tanggungan, sebab lebih banyak rumah tangga orang yang beruntung padahal hanya sebuah pondok kecil. Kemudinya ialah di hati yang puas tadi juga.”

Yang penting diajarkan kepada remaja dan para aktivis dakwah adalah berani.
“Maka bangunlah kaum muslimin kembali sejak timbul keberanian Sayyid Jamaluddin al Afghani, dan muridnya Syaikh Muhammad Abduh, dan muridnya pula Sayid M. Rasyid Ridha, dengan berani berterus terang menyatakan kebenaran. Mula-mula mereka dikutuk, tetapi dengan diam-diam segala pelajaran mereka diikuti juga.”

“Di Indonesia muncul H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul (H. Abdulkarim Amrullah) serta kawan-kawannya di Minangkabau dan Kyai Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya di Yogyakarta. Mereka dibenci, dihalangi, dikatakan sesat. Tetapi dengan diam-diam mereka diikuti juga.”

“Mesti banyak yang seperti Rahmah El Yunusiyah, yang berani hidup menjadi janda, karena memikirkan pendidikan saudara-saudaranya kaum perempuan, dan seterusnya.”

“Mesti timbul kelompok-kelompok muda yang berani menyatakan pendapat, sebab sekarang perhubungan telah mudah, percetakan telah banyak dan penerbitan telah ada.” (Filsafah Hidup, hlm 255-256)

Kita tidak boleh sunyi setiap waktu dari orang yang berani menyatakan kebenaran. Yang meluruskan barang yang condong, memperbaiki barang yang salah, yang tidak peduli pada kebencian dan ejekan orang.

Meskipun benci kepadanya, namun kebenarannya tidak akan dapat ditolak. Orang tidak akan kuasa menolak pendapat itu.

Buya Hamka tegas dan lantang mengkritik Soekarno dan menyatakan haram menikah lagi baginya. Karena tidak suka dengan pernyataannya tersebut, Buya Hamka dijebloskan ke dalam penjara. Apa Buya Hamka marah? Tidak.

Bahkan di dalam jeruji besi, Buya Hamka mampu menyelesaikan menulis Tafsir Al Azhar 30 juz. Pencapaian yang luar biasa! Teringat Rocky Gerung berkata, “Orang HEBAT tidak bisa dihentikan kecuali dibunuh.” Jangan anggap dengan dipenjara orang hebat akan diam.

Di sisi lain, bagi orang awam ada yang mudah menangkap ceramah –disampaikan langsung dalam ceramah, tapi ada juga yang tidak menerima dakwah secara langsung. Sehingga terdapat cara lain untuk berdakwah.

Dan disini Buya Hamka pun berdakwah dengan menulis novel. Dengan menulis novel, orang awam pun akan lebih mudah menangkap. Terutama sekali karena karya-karya Buya Hamka sangat bermuatan adat dan agama, serta membangkitkan semangat berjuang.
Pada masa itu Ulama yang juga Penulis di Indonesia termasuk sangat jarang. Buya Hamka pun dianggap aneh dan nyeleneh karena ulama tapi menulis novel.

Pada kajian ‘Taman Penulis’ FLP Jawa Barat, 25 Maret 2018 lalu di Jatinangor, Jamal D. Rahman mengungkapkan bahwa, “Sering kita menganggap bahwa Sastra merupakan bagian lain dalam Islam. Padahal pada zaman dulu para Ulama (di Arab) itu saat belajar Islam, dengan sendirinya belajar sastra, “ ujar Pak Jamal.

“Sastra merupakan bagian integral dalam Islam. Bidang apapun mereka tekuni, mereka menulis puisi. Ulama apapun dulu ya belajar Sastra. Nyaris tidak ada Ulama yang tidak menulis sastra. Imam Syafi’i adalah ulama Fiqih. Tapi Imam Syafi’i juga menulis syair dan puisi. Puisinya tersebar dan disatukan jadi satu buku 300 halaman. Salah satu syair beliau “Ilmu itu cahaya Allah dan tidak terpancar oleh orang yang bermaksiat”, tambah Pak Jamal lagi.

Kalau sekarang ulama penulis di Indonesia sudah ada beberapa yang saya tahu. Ulama di Indonesia yang menulis novel ada Ustadz Adian Husaini dengan ‘KEMI’-nya, selain Habiburrahman el Shirazy dengan ‘Ayat-Ayat Cinta’-nya.

“Dengan menulis novel merupakan cara dakwah dengan cara yang halus. Dengan menulis, dakwahnya tidak terlihat seperti sedang berdakwah. Terlebih orang awam pun ikut membaca juga. Kalau ceramah kan berbeda. Seperti di novel ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ makna yang tersurat dalam novel tersebut adalah orang yang mengikut ADAT menderita, sedangkan orang yang setia pada Islam (Zainuddin) akan sukses hidupnya”, tambah Pak Jamal lagi.

Cerita sekilas tentang Novel tersebut adalah Zainuddin ditolak untuk dekat dengan Hayati, bahkan terang-terangan diusir dari kampung tersebut karena garis keturunan yang mereka anggap tak jelas arahnya. Namun di akhir cerita, Aziz, suami Hayati yang hobi judi dan main perempuan dikabarkan bunuh diri. Kemudian Zainuddin memulangkan Hayati ke kampung halamannya.

Meski hati masih ada rasa cinta, namun juga belum memaafkan kesalahan Hayati yang mengingkari janjinya. Pada perjalanan pulang di kapal Van der Wijck terjadi kecelakaan, kapal tersebut tenggelam.

Maka sadarlah Zainuddin bahwa takdir Allah Swt. yang menentukan ketika tidak bisa dipersatukan di dunia.

Dari Buya Hamka kita bisa mengoptimalkan kemampuan kita untuk berdakwah memperjuangkan Islam. Buya Hamka dalam kesehariannya pun selalu dekat dengan Al Quran.  Dari buku ‘Ayah’ karya Irfan Hamka diungkapkan bahwa, “Salah satu kebiasaan Ayah, ia tak akan berhenti membaca Al Quran sebelum ia mengantuk. Beliau akan terus membacanya sampai 2-3 jam. Karena itu, Ayah bisa menghabiskan 5-6 jam sehari hanya untuk membaca Al Quran.”

Bahwa Aktivis Dakwah selain penting membaca dan menulis juga, penting mengupgrade amal ibadah merecharge diri dengan amal-amal saleh. Kita bisa belajar banyak dari sosok Buya Hamka yang dapat menginspirasi generasi muda untuk lantang menyatakan kebenaran Islam, dan berjuang di jalan Allah Swt. dimanapun berada, juga dengan apa yang kita mampu, salah satunya dengan jalan menulis. []
Bandung, 13 Februari 2019

Daftar Pustaka:
Hamka, Prof. DR. 2015. Falsafah Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al Quran dan As Sunnah. Jakarta: Republika Penerbit.

Hamka, Irfan. 2013. Ayah Kisah Buya Hamka masa muda, dewasa, menjadi ulama, sastrawan, politisi, kepala rumah tangga, sampai ajal menjemputnya. Jakarta: Republika Penerbit

Malik Karim Amrullah, Abdul. 1938. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. PT Bulan Bintang.

No comments