HAMKA DAN KARYANYA (DALAM NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK)


Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini, pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang. –Kahlil Gibran 

KISAH roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck berawal dari Zainuddin yang tinggal di Makassar, flash back mengenai kisah Ayahnya, Pandekar Sutan yang memiliki harta di Sumatera Barat terusir sebab Pamannya ingin memiliki harta yang seharusnya diwariskan kepada Pandekar Sutan.

Dalam adat istiadat Minang, memang harta pusaka dan harta pencaharian diturunkan berdasarkan ketentuan adat yakni menurut garis Ibu. Maka paman Pandekar Sutan hanya pandai menghabiskan harta benda ibunya seperti harta benda, sawah, dan sebuah gong pusaka. Saat hendak menikah pun, Pandekar Sutan selalu dihalang-halangi, akhirnya Pandekar Sutan tak sengaja malah membunuh pamannya.



Pandekar Sutan pun dipenjara. Sehabis masa tahanan, Pandekar Sutan tidak mau kembali ke Minangkabau. Dia merasa tak ada yang akan melindunginya. Dia pun tinggal di Makassar sampai akhirnya menikah.

Pandekar Sutan seorang beradat dan gelar pusaka Datuk Mantari Labih tidak akan ada yang memakai. Dalam hatinya dia sangat merindukan kampung halamannya. Namun hatinya tidak tahu apakah keluarganya di Padang akan menerima atau tidak.
*

Zainuddin telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Dia pun berlayar menuju Padang Panjang dan meneruskan perjalanan ke Desa Batipuh. Namun kehadiran Zainuddin tidaklah mendapat respon positif. Zainuddin seakan diabaikan. Zainuddin pun ingin kembali ke Makassar, tapi pantang baginya untuk langsung pulang.

Zainuddin teringat perkataannya sendiri, “Mamak jangan terlalu khawatir. Sudah cukuplah pepatah orang Makassar ini kita pegang: ‘anak laki-laki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah hanya untuk berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut pulang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan layar sobek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang’.” 

Zainuddin mulai betah lantaran seorang gadis yaitu Hayati. Hari-hari Zainuddin menjadi berbunga. Rupanya Hayati pun menyukai Zainuddin karena perilakunya yang santun, sederhana, dan baik.
Dalam khayalku dan dalam kegelapan malam, awan-awan menyingkir, langit menjadi cerah, dan tampaklah satu bintang sebagai penunjuk jalan. Bintang itu adalah kamu, Hayati!

Akan tetapi hubungan mereka tidak direstui oleh keluarga besar Hayati karena menganggap garis keturunan Zainuddin tak jelas arahnya.

Zainudin teringat ucapan Mak Base ketika ia ingin berlayar ke Padang, bahwa adat orang Padang lain sekali dengan adat orang Makassar. Padang adalah bangsa  ibu. Jika seorang anak berayahkan orang Padang, tapi ibunya berasal dari luar Padang, anak tersebut akan tetap dianggap sebagai orang lain. Malang benar nasib anak yang seperti itu. Dalam negeri ibunya ia dipandang orang asing, dalam negeri ayahnya ia juga dipandang sebagai orang asing.

Mereka pun terpisahkan karena Paman Hayati melarang Zainuddin menemui Hayati. Bahkan Zainuddin merasa terusir dari kampung tersebut. Zainuddin berhijrah ke tempat lain. Selama kurun waktu itu Hayati berkirim surat pada Khadijah dan mengungkapkan isi hatinya ingin bertemu dengan Zainuddin.
*
Pacuan kuda dan pasar malam di Padang Panjang menjadi kesempatan bagi Hayati untuk bertemu dengan Zainuddin meski sebentar. Pada saat itu Khadijah meminta Hayati memakai baju modern. Hal tersebut membuat Zainuddin terkaget karena Hayati memakai pakaian agak terbuka, Zainuddin kecewa dan menganggap Hayati sudah berubah.

Khadijah pun bertemu Zainuddin dan hanya menganggapnya sebelah mata. Khadijah berbicara mengenai masa depan bersama Zainuddin yang akan berkekurangan karena Zainuddin tidak bekerja. Khadijah seakan mengatur Hayati agar lebih baik mencintai Aziz yang tidak lain adalah kakaknya yang sudah mapan dan sudah bekerja.

 “Aku sangat menyayangimu, Hayati. Alangkah beruntungnya kita, jika suamiku dan suamimu memiliki kehormatan yang sederajat. Sebenarnya saya memuji kebaikan Zainudin, tapi aku rasa pemuda seperti itu tidak dapat diandalkan untuk hidup di zaman sekarang. Sekarang segalanya diukur dengan uang.”

“Tidak, Khadijah,” jawab Hayati. “Pendapatmu tidak betul. Cinta tidak bergantung dengan uang. Jika sepasang manusia  saling  jatuh  cinta,  dan  mereka  merasa  bahagia, itulah kekayaan yang lebih mahal ketimbang emas dan berlian. Cinta adalah kebahagiaan yang tak akan pudar oleh terik matahari dan tak akan luntur oleh hujan.”

Hayati dalam kebimbangan yang sangat. Namun keluarga menyetujui pernikahan Hayati dan Aziz. Akhirnya Hayati pun menikah dengan Aziz. Pada saat itu Zainuddin seperti tidak ada semangat hidup dan menjadi sengsara. Demi mengusir rasa sedihnya, Zainuddin bepergian.

Kemudian ia pergi meninggalkan Padang Panjang, terus ke Padang, ke Bandar Sepuluh, melihat ombak memukul pantai di tepi Teluk Batang Kapas, mendengarkan anak-anak perahu menyanyi, dan terus berjalan ke Kurinci, melihat keindahan puncak Gunung Kurinci dan danaunya yang indah. 

Setelah tiga hari di Kurinci, ia kembali ke Padang, lantas pergi ke Solok melalui Sitinjau Laut, kemudian ke Tambang Sawah Lunto, dan terus pergi hingga ke Batu Sangkar. Melalui Tebat Patah, dia melanjutkan pergi ke Payakumbuh, ke Meganti, dan ke tempat-tempat lainnya. Ia melakukan perjalanan panjang seperti itu tak lain adalah untuk mengobati hatinya yang sedang terluka. Ia beranggapan bahwa jika ia melakukan perjalanan, maka kesedihannya akan tertinggal jauh di belakang. Namun ia keliru. Ternyata perjalanan tidaklah dapat menyembuhkan hatinya yang sedang terluka. Keindahan alam yang memesona tidak mampu menghapus duka lara. Kemudian ia pun kembali ke Padang Panjang dengan wajah yang lesu.

Beruntung Zainuddin bertemu Muluk, anak dari Ibu yang ditumpanginya. Zainuddin menjadi ada sahabat bercerita. Tak lama Zainuddin pun mulai menulis demi mengalihkan rasa kesedihannya. Zainuddin pindah ke Jakarta dan mulai menulis dan dikirim ke surat kabar. Banyak surat kabar yang menyukai tulisannya. Dalam kurun waktu tersebut Zainuddin pun memilih untuk mempunyai penerbitan sendiri dan masih menulis, Zainuddin pun pindah ke Surabaya.

Dalam roman ini membuktikan bahwa seseorang bisa bangkit dari keterpurukan dan dapat mengalihkannya menjadi hal yang produktif yang dapat membantunya menjadi insan yang lebih baik. Zainuddin menjadi seseorang yang tidak dilenakan oleh rasa cintanya sendiri.

Sementara Hayati merasa bahagia dengan pernikahannya. Aziz mencintainya dan mereka bahagia. Namun hal tersebut tidaklah lama. Aziz dan Hayati pun karena suatu perkara pindah ke Surabaya. Di Surabaya, Aziz kembali ke tabiat semula, suka bermain perempuan dan berjudi. Hayati menjadi sedih.

Mereka dipertemukan dengan Zainuddin di sebuah perkumpulan Anak Sumatera di Surabaya. Zainuddin terkejut mereka bisa bertemu kembali, namun Zainuddin mencoba biasa saja dan tentu dia menghargai arti pernikahan Hayati dan Aziz dan tidak ingin sampai mengganggu pernikahan keduanya.

Aziz semakin menjadi-jadi. Bahkan setelah menghabiskan harta Hayati, Aziz pergi berpamitan dan berjanji akan mencari kerja. Meski statusnya Hayati ikut di rumah Zainuddin, tetaplah Hayati bukan mahram bagi Zainuddin.

Terdapat kabar Aziz bunuh diri saat perjalanan di kapal menuju Sumatera. Hayati menjadi bingung. Kala itu Zainuddin masih dendam terhadap Hayati karena janjinya dahulu tak ditepati untuk setia padanya.

Zainuddin memberi ongkos pulang kepada Hayati agar kembali ke kampung halamannya. Hayati tidak bisa menghilangkan kesedihannya.

Pada saat di perjalanan, rupanya terjadi kecelakaan pada kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hayati, Zainuddin langsung berangkat dan ingin segera bertemu Hayati berharap Hayati sehat. Namun alangkah sedihnya Zainuddin karena itu menjadi akhir cintanya. Hayati meninggal dunia untuk selama-lamanya. Zainuddin pun meninggal satu tahun setelah meninggalnya Hayati.

Secara umum,  karya Hamka pada masa itu merupakan karya baru dan orisinil. Kisah cinta dua insan yang tak bisa dipersatukan tidak lantas membuat seseorang berputus asa. Bahkan Zainuddin sebagai tokohnya menjadi amat kuat dan tidak dibutakan oleh cinta.

Teman pada dasarnya merupakan seseorang yang bisa memberi masukan dan arahan. Begitulah yang ditemukan dalam figur Muluk.

Di saat Zainuddin dalam keadaan terpuruk, Muluk bisa memberikan kekuatan, sehingga Zainuddin mantap berubah dari kesedihannya memikirkan Hayati yang telah menikah dengan ‘move on’ dengan kegiatan yang positif dan mendatangkan banyak manfaat untuknya.

Menulis sastra adalah cara paling ampuh agar pesan penulis sampai pada pembaca. Secara tidak langsung selain mengenalkan latar budaya dan adat istiadat, juga pesan dakwahnya sampai, yakni Zainuddin tetaplah orang yang memegang teguh prinsip, seorang Hayati yang telah menjadi mahram Aziz tidaklah membuat Zainuddin merebutnya. Bahkan Zainuddin membantu Aziz dan Hayati berkali-kali dalam menghadapi kesulitan.

Pesan dakwah yang lain adalah kata-kata dari Pandekar Sutan, “Hanya dua yang dapat mengobati hatiku, Base,” ujar ayahmu kepadaku, “Pertama membaca Alquran tengah malam, dan yang kedua membuaikan Zainudin dengan nyanyian negeri sendiri, Negeri Padang yang kucinta. Negeri Padang itu sangat indah, Base, pelabuhannya indah ciptaan Tuhan, dan di tengahnya tampak Pulau Pandan yang hijau, tepatnya di balik Pulau Angsa Dua. Itulah pantun nenek moyangku, yang setiap kali menyebut pantun itu, aku selalu teringat Habibah, istri tercintaku.”

Pesan lain yang sampai adalah mengenai pakaian yang tetap harus menjadi pembawaan diri seseorang agar wibawanya terjaga mesti dijaga oleh Hayati dan anggapan orang kampung haruslah dibuang jauh-jauh. Karena mengenakan pakaian yang sopan adalah sebagian dari iman. Rasa malu dan iman begitu dekat seperti menjaga keduanya saling berdekatan.

Dalam pembangunan tokoh, Hamka sudah amat piawai menceritakan perubahan tokoh Hayati misalnya. Kemudian Khadijah yang teramat membela kakaknya Aziz dan seperti mengatur Hayati di awal keberpihakannya terhadap Aziz dan memandang sebelah mata kepada Zainuddin. Mungkin dalam kehidupan sehari-hari ini kita terkadang bisa menemukan tokoh-tokoh seperti ini. Maka mencari sahabat yang baik adalah suatu keharusan.

Penokohan Zainuddin adalah yang konsisten. Sejak awal Zainuddin adalah seorang yatim piatu, namun memiliki perangai yang baik dan saleh. Di akhir cerita, tindakan Zainuddin membawa pulang Hayati ke kampung halamannya memang sudah benar. Zainuddin khawatir juga jika dua orang non mahram dalam satu atap. Zainuddin tidak ingin menceburkan dirinya dalam dosa berlama-lama dalam satu atap saat Hayati bersendiri karena suaminya pergi hendak berikhtiar mencari penghidupan.

Setelah ada kabar Aziz bunuh diri, kemudian penokohan Zainuddin yang masih tidak bisa memaafkan kesalahan Hayati yang mengingkari janjinya lah yang membuat Hayati dipulangkan.
Pada saat Hayati telah dalam perjalanan pulang, dan terjadi kecelakaan yakin tenggelamnya Kapal Van Der Wijck maka sadarlah Zainuddin bahwa takdir Allah Swt. yang menentukan ketika tidak bisa dipersatukan di dunia.

Mengenai pengarang dan kekaryaannya, Hamka merupakan tokoh islam panutan. Bahkan Muhammad Yamin sebagai orang yang bertentangan dengannya minta didatangkan Hamka untuk membantu mentalkinnya pada saat sakaratul maut. Begitupun dengan Soekarno yang pernah menjebloskan Hamka ke dalam penjara, dengan besar hati Hamka mau memimpin shalat jenazah Soekarno karena tahu Hamka memiliki pemahaman Islam yang baik.

Bahkan sekelas Pramoedya Ananta Toer yang aktif dalam organisasi Lekra yang selalu memfitnah Hamka kalau karyanya hasil jiplakan, mengirim putri dan calon menantunya karena sadar anaknya tentu tidak bisa menikah dengan seseorang yang berbeda keyakinan.

Hamka selain banyak menulis buku Islam dan novel, berhasil menuliskan Tafsir Al Azhar juz 30 di dalam penjara. Hamka seorang ketua MUI pertama di Indonesia, karya-karyanya menegaskan kepada kita bahwa dakwah bisa disampaikan lebih berkesan lewat cerita.

Dalam karya Hamka yang lain, Di Bawah Lindungan Ka’bah memiliki beberapa kesamaan yakni pesan cerita yang mengisahkan kasih tak sampai dan tokoh sentralnya Hamid meninggal. Disusul setahun kemudian Zainab meninggal. Kisah cinta dua insan terhalang karena status, Hamid adalah anak pembantu Engku Haji Ja’far, sedangkan Zainab anak tokoh kyai terpandang.

Kekurangan pada cerita, pada percakapan Mak Base bercerita pada saat Udin masih kecil, "Napas ibumu sesak, seperti sudah tidak sanggup lagi hidup di dunia ini. Ayahmu menempelkan kepalanya di bantal dekat tempat tidur ibumu. Saat itu aku menangis, Udin, aku benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi padamu jika ibumu meninggal. Kamu masih kecil, umurmu baru sembilan tahun, kamu belum pantas menerima cobaan seberat itu."

Namun di kalimat yang lain, "Orang tuamu belum lama menikah, Zainudin, kira- kira baru empat tahun. Namun Allah telah mengambil ibumu dengan begitu cepat."

Mungkin maksud yang tertulis yakni umur Udin baru sembilan bulan, namun sudah ditinggal pergi meninggal sang ibunda, karena pernikahan Pandekar Sutan dan istrinya baru empat tahun.

Secara keseluruhan ini adalah cerita yang utuh. Baik karya dan penulisnya memiliki kecintaan kepada tanah Minangkabau. Menulis sastra adalah cara paling ampuh agar pesan penulis sampai pada pembaca. Sedangkan membaca sastra adalah cara kita belajar sejarah. Secara tidak langsung selain mengenalkan latar budaya dan adat istiadat, juga pesan dakwahnya sampai kepada pembaca.


No comments