Esai: Menarasikan Kegelisahan

Sri Al Hidayati


Setiap orang berhak menarasikan kegelisahannya. Ada yang menampilkannya lewat bentuk puisi, cerpen, esai, bahkan tak sedikit bagi mereka yang memiliki nafas panjang bisa mengekspresikannya lewat bercerita novel.

Sebagaimana setiap orang berhak menarasikan kegelisahannya, maka ketika menarasikannya menjadi puisi, cerpen, esai, ataupun novel, itu adalah obat.

Baca juga: Novel Serius dan Novel Populer 

Sehingga gelisah karena ada hal yang mengganjal untuk diceritakan itu seperti panas dingin yang akhirnya hilang saat sudah teratasi, atau sudah pecah bisul istilahnya. Setiap penulis pun pada masa lampau menulis karena motif menulis saja.

Ia tidak terbebani dengan hal-hal di luar itu, seperti tuntutan industri, dan lainnya. Bahkan media yang ada pada saat tahun-tahun awal kesusastraan Indonesia (tahun 1945) menampilkan karya-karya penyair lewat sajak dan dimuat di Koran,  mereka bisa mendapatkan penghargaan dengan tulisannya mendapat honor dari menulis di Koran.

Bentuk kegelisahan yang hadir masih menjadi satu bentuk saja yaitu teks, tanpa dipengaruhi atau beban industri. Setiap penulis dapat menuliskan kegelisahannya dengan berkarya, tak ada motif lain, dan mungkin saja tak berfikir sampai karyanya laris, apalagi menjadi sebuah profesi.

Pada tahun 1945, penyair  seperti Chairil Anwar saja, meski ia tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Yang luar biasa, seperti dikutip dari Wikipedia bahwa Chairil Anwar membaca karya-karya pengarang internasional seperti Rainer Maria Rilke, W.H Auden, Archilbald Macleish. Sehingga penulis-penulis tersebut secara tidak langsung memengaruhi karya Chairil.

Dari buku Kesusastraan Indonesia Modern karya Sapardi Djoko Damono bahwa, “Kebutuhan akan fiksi menjadi lebih meningkat dengan adanya ruangan-ruangan khusus untuk cerpen dan cerita bersambung sejumlah majalah dan Koran yang terbitnya teratur.”
Setiap orang pun punya ranah untuk menarasikan kegelisahannya lewat berbagai media, seperti media massa lewat Koran dan majalah.

Jadi karya dapat dikatakan menulis bukan sekadar puas dengan hasil karya hari ini, namun tetap harus ada kegelisahan untuk lebih baik dan haus akan bacaan-bacaan berkualitas yang bisa memberi nilai positif/ pengaruh pada bagaimana cara saat kita menulis.

Kondisi hari ini pun penulis tidak bisa hidup dari sekadar menulis (saja). Bagi sebagian yang lain mungkin hanya menganggap pekerjaan menulis dengan sebelah mata. Tapi bagi saya menulis adalah pekerjaan yang sulit-sulit-mudah. Terutama menulis puisi, puisi itu adalah cinta.

Setiap perjuangan selalu meminta darah dan limpah air mata, Al
Kita akan selalu menjadi manusia yang tepekur dalam
keluh yang riuh dan tubuh-tubuh yang rubuh karena jenuh

namun langit selalu milik kita
selama kitalah yang teguh mendoakan pagi
kembali lahir esok hari

Seperti kubilang, perempuan mampu meremuk matahari
maka kuletakkan tanganku di pundakmu supaya kau tahu
sedemikian lesap doaku buatmu

Juni akan ranggas seperti lembaran-lembaran waktu yang purba
Di sana tercatat bagaimana kesedihan kita menjelma semak belukar

memadat di jalan lengang
di antara gemuruh napas kita.
Juni akan menggigil seperti musim dingin
yang asing dan terpencil

Namun suara kita tetap mengepul di antara udara yang mengental.
Maka tersenyumlah,
Yakinkan aku bahwa kita pernah menggenggam bulan dan jagat raya
dengan apapun yang mampu kita upayakan.

Aku berterima kasih, Al
Kau memberiku kesadaran bahwa tangan kita
mampu melumat semua kegetiran
Pun ketidakberdayaan.
. (Menuju Juni,  karya Nurul M.Sisilia)

Jalan seseorang menulis pun menjadi terbuka. Ia bebas menentukan dirinya menulis apa. Penulis idealis memiliki idealism tidak terpengaruh dengan pasar atau industri. Ia hanya berfokus pada karya. Jika karyanya disukai masyarakat ataupun tidak, ia tidak terlalu memikirkan kesukaan masyarakat, namun ia menulis karena mengabdi. Menulis juga menjadi rekam jejaknya saat melangkah.

Ia tak terlalu memusingkan gaji dan berpusat pada kegelisahan-kegelisahan yang hendak diejawantahkan. Di sisi lain pun ada pula yang menulis bukan menulis sendiri, namun dituliskan oleh orang lain, yakni hanya gagasan-gagasannya oleh orangnya, namun yang menulis adalah ghostwriter (kebanyakan untuk tulisan seperti ini yang mengambil adalah ranah nonfiksi).

Kalau dalam hal ini jelas itu adalah tulisan telah masuk ranah industri yang berkejaran dengan deadline dan biasanya tulisan pesanan seperti biografi atau autobiografi.

Sehingga menulis pun telah digarap oleh banyak sisi. Kepengarangan menjadi sebuah industri yang layak pasar. Bahkan penerbit hanya berpikir kira-kira buku apa yang laku di pasaran, sehingga itu yang dicari.

Sehingga saat ini pun banyak cara juga untuk mengenalkan buku pada masyarakat. Seperti di instagram ada blog tour, ada istilah bookstagram. Mengenalkan tulisan juga ada lewat Wattpad dan akhirnya ada yang difilmkan.

Ada juga teenlit, chicklit, novel horror dsb, ranah tersebut juga ditulis oleh beragam background penulis. Anak anak kecil yang tertarik menulis sedari kecil pun diarahkan pada KKPK (Kecil-kecil Punya Karya). Anak anak yang ingin bisa menulis di KKPK pun tentu harus mempunyai rujukan menulis di KKPK akhirnya membeli dan menelaah seperti apa tulisan yang bisa naik cetak disana.

Begitu pun dalam buku buku seperti teenlit, chicklit, dan lainnya, dapat dikatakan tiap kategori punya pasar pembacanya masing-masing.

Terlebih sekarang pun penulis tidak melakukan hal seperti konvensional seperti dulu, yakni jika ingin naskahnya menjadi buku, harus mengirimkan naskah ke penerbit dan melewati proses di redaksi, editorial terlebih dulu.

Sekarang bahkan penerbit meminta naskah kepada penulisnya langsung. Jika dirasa penulis tersebut sudah memiliki nama, dan banyak memiliki penggemar dan potensial sebagai calon pembeli buku, maka penerbit akan meminta penulis tersebut menulis.

Sehingga penulis saat ini tidak murni menulis karena ingin menarasikan kegelisahan, akan tetapi sudah terkapitalisasi industri.
*
Dari buku 'Kesusastraan Indonesia Modern' karya Sapardi Djoko Damono bahwa, "Tampaknya penerbit-penerbit sudah menarik kesimpulan bahwa novel adalah barang dagangan yang mulai bisa memberikan keuntungan bagi perusahaan. Balai Pustaka yang selama bertahun-tahun boleh dikatakan hanya memperhatikan penerbitan buku pelajaran, kini menyusun program cetak ulang sejumlah novel-novelnya." (hlm 6)

Kini teks-teks sudah bisa berproduksi menjadi film, sinetron, dan lain-lain. Dalam penamaannya pun film atau sinetron sudah membutuhkan skenario yang beratus-ratus scene di dalamnya yang mewakili buku.
Lalu apakah menulis sebagai sarana menyampaikan gagasan ataukah telah berubah menjadi industri?

Karya karya cerpen/novel di Indonesia bisa menjadi sinetron beribu-ribu episode. Karena skenario yang 'diada-adakan ceritanya' karena masyarakat suka, lantas menuntut para kreator untuk melanjutkan naskahnya.

Sedangkan di Korea, drama Korea hanya menampilkan sekitar 21 episode, jikapun banyak ada hanya sampai 30 episode. Terlepas dari penontonnya memiliki rating tinggi ataupun tidak, jika pesan sudah disampaikan ya sudah tidak usah dibikin-bikin panjang (lagi).
*
Dalam tulisan 'Industrialisasi Sastra' karya Afri Meldam, bahwa "Sastra hari ini sudah terindutrialisasi. Sastra tak lagi hadir sebagai hasil karya yang 'merdeka', tetapi sudah menjadi komoditas industri.

Dengan kata lain, sastra sudah dijadikan produk yang akan diperjual-belikan di pasaran. Sebenarnya ‘Campur tangan’ industri dalam dunia sastra sebenarnya sah-sah saja. Namun, ketika proses indutrialisasi itu membuat penulis lebih memperhatkan laba yang akan ia peroleh daripada bobot karya, maka indutrialisasi sastra berpeluang menjadi paradoks. Pada satu sisi, menjadi pendorong pertumbuhan sastra, namun di sisi lain justru ‘membunuh’ hakikat sastra itu sendiri. Sastra yang ‘profit-oriented’ cenderung miskin akan nilai-nilai sastrawi dan hanya mengejar keuntungan semata.

Selera pasar adalah hal yang sangat diperhatikan oleh para penulis yang berkiblat pada materi."
Menurut Afri lagi bahwa, "Industrialisasi sastra memang sangat berpeluang memiskinkan nilai-nilai sastrawi sebuah karya sastra. Hal ini disebabkan karena sistem yang dijalankan dalam sebuah industri (seperti penerbit buku) adalah sistem kapitalisme. Para pemilik modal jelas tak akan mau rugi."

Semoga tulisan yang dihasilkan bukanlah tulisan yang hanya sekadar berkiblat pada materi saja, namun harus ada yang lebih esensi yakni menampilkan nilai nilai keindahan dan tidak terpengaruh oleh hingar bingar industri yang terkapitalisasi. []

No comments