Menulis Secara Populer Vs Menulis Untuk Populer?


Sri Al Hidayati

Matahari bergeser menampakkan sinarnya.  Di sebuah universitas di kota Metropolitan sedang diadakan bedah buku penulis ternama. Banyak yang rela antri untuk bisa berfoto dan mendapatkan tanda tangan penulis ternama tersebut. Meski bukan seperti halnya profesi seperti artis, profesi penulis pun memiliki penggemarnya masing-masing kini. Sesuai genre dan apa yang ditulisnya, hal tersebut menjadi tempat di hati pembaca.

Saat ini siapa saja bisa menulis. Bukan hanya profesi wartawan atau penulis saja yang menulis, kini banyak artis atau publik figur pun menulis. Biasanya artis menulis dalam status-status, tapi tak sedikit yang menulis buku. Seperti Panji Pragiwaksono yang menulis, gagasan-gagasannya bisa dilihat dalam karya-karyanya seperti Nasionalisme dan Menemukan Indonesia.

Sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan menulis itu dibutuhkan dimana-mana. Baik itu profesi dokter, guru, perawat, pebisnis, bahkan untuk seorang pelajar sekalipun.

Jamal D. Rahman mengungkapkan bahwa, “Sastra melapangkan jalan bagi siapapun agar menulis.”
Jika dulu menerbitkan buku orang-orang berlomba-lomba mengirimkan naskah ke beberapa penerbit karena penerbit masih sedikit, sekarang begitu banyak pilihan atau opsi penerbit baik major/indie sehingga kemudahan tersebut bisa membuat siapa saja berkesempatan menerbitkan buku.

Dan meski dunia digital telah sedikit banyak mengubah paradigma sehingga orang-orang beralih membaca secara digital, ada hal-hal yang tidak bisa tergantikan dengan membaca buku langsung, duduk membuka lembar-lembar buku, mencium aroma buku baru.

Dalam memilih buku, terlebih ketika telah berubah status menjadi Ibu, saya senang membelikan buku-buku untuk anak, terutama buku anak yang full color karena anak dapat mengamati berbagai macam gambar dan warna. Ketimbang membacakannya dari internet, saya lebih senang memberikannya buku agar anak menyukai membaca sejak kecil, juga agar ketika saya membacakan buku, si Kecil tertarik dan mengamati halaman per halamannya.

Selain itu memang si Kecil kerap membuka buku dan berceloteh sendiri. Ia senang menafsirkan sendiri cerita dalam gambar yang ada di setiap halamannya.

Jika membandingkan membaca buku fisik dan membaca dari internet, tentu saat kita membaca dari internet –biasanya-- sering teralihkan dengan hal-hal lain. Seperti dalam buku ‘Bored and Brilliant: How Spacing Out Can Unlock Your Must Productive and Creative Self’ karya Manoush Zomorodi, “bahwa kita sering teralihkan dan tidak fokus karena otak kita sering beradaptasi dengan keseharian scrolling layar gadget.” Sehingga dengan kata lain, membaca teks buku tentu bisa lebih fokus dibanding ketika membuka dari internet.

Budaya populer dan menulis secara populer
Raymond Williams memberikan empat definisi tentang populer yakni yang pertama, populer adalah banyak disukai oleh orang, kedua, populer adalah jenis kerja rendahan, ketiga populer adalah karya yang dilakukan oleh orang untuk membuat senang orang lain dan yang keempat, populer adalah budaya yang memang dibuat untuk menyenangkan orang lain.

Diambil dari buku ‘Teori Pengkajian Fiksi’ karya Burhan Nurgiyantoro bahwa novel populer selalu menampilkan masalah-masalah aktual dan selalu mengikuti zaman, namun hanya sampai tingkat permukaan.

Selain itu, karya-karya pop mampu menghibur pembacanya meski masalah yang diceritakan hanya pada masalah “itu-itu” saja: cerita cinta asmara dengan model kehidupan yang mewah. Kisah percintaan antara pria tampan dan wanita cantik yang mampu membuat pembaca remaja sejenak melupakan kepahitan hidup yang dialaminya secara nyata.

“Dalam kehidupan sehari-hari pun masyarakat lebih menyenangi buku-buku populer, surat kabar, dan majalah daripada buku-buku pelajaran atau pengetahuan dan jurnal-jurnal ilmiah,” dikutip dari riaupos.co.

Menulis secara populer agaknya lebih mudah diterima masyarakat, contohnya saja novel populer. Novel populer memiliki banyak penggemar khususnya penggemar di kalangan remaja.

Dan untuk menulis, setiap orang tentu menggunakan gaya bahasa yang berbeda-beda. Kebanyakan menulis mendapat pengaruh dari apa yang dibacanya sehari-hari. Karya bagus menurut saya novel pop seperti Damar Hill karya Bulan Nosarios, Mei Hwa karya Afifah Afra. Karya SGA yang terbaru saya baca dan langsung saya suka Dunia Sukab dan Tiada Ojek di Paris.

Menulis secara populer dapat dimulai dengan membaca bacaan berkualitas, lho! Maman S. Mahayana dalam event Taman Penulis FLP Jabar Juli 2018 lalu mengungkapkan bahwa, “Saat membaca karya sastra, usahakan membaca karya sastra TOP sekalian yakni yang memiliki mahakarya seperti Buku Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk, atau juga karya Pram (Pramoedya Ananta Toer). Dengan karya sastra yang BAGUS tersebut dapat memperkaya bacaan kita, memperkaya gaya bahasa kita ketika menulis.”

“Pada saat kita menulis cobalah untuk perkuat latar, karena hakikatnya semua narasi itu sebenarnya latar. Kalau ingin mencari ide, di Rumah Sakit yang tergeletak itu bisa jadi cerpen. Kalau ingin menulis juga tuliskan satu tempat yang ingin kita tulis, tuliskan perbedaannya antara pagi, siang dan malam. Misalkan ingin menulis hotel, tuliskan hotel seperti apa, kalau bisa bedakan antara hotel di Indonesia, Malaysia dan Singapura,” kata Pak Maman lagi.

Dan menulis pun tidak harus dengan bahasa yang tinggi atau nyastra. Yang terpenting adalah menulis agar mudah dipahami pembaca. Seperti layaknya seorang koki yang pandai mengolah bahan sederhana sehingga masakannya terasa lezat setelah dimasak, maka penulis pun pun harus punya kekuatan bahan berupa gagasan dan diksi yang  baik sehingga tulisannya akan menjadi tulisan yang baik.

Dalam buku ‘Memahami Budaya Populer’ karya John Fiske bahwa, “Pembaca novel bisa mengetahui secara terperinci perasaan dan motivasi seorang tokoh: Penonton televisi harus menyimpulkan semua ini dari alis mata yang ditinggikan, turunnya sudut mulut, atau infleksi suara ketika  novel tersebut membicarakan suatu klise. Dengan ‘memperlihatkan’ bukan ‘menceritakan’, dengan membuat sketsa dan bukan menggambar secara lengkap, teks-teks populer sering membuka diri mereka sendiri terhadap beragam relevansi sosial.” (hlm 141)

Di dalam buku ‘Menulis Secara Populer’dipaparkan tentang banyak teknik dalam menulis, seperti deskripsi, narasi, eksposisi, dan artikel. Bagi yang ingin belajar menulis, bisa juga membaca contoh-contoh dalam buku tersebut.
Banyak novel yang bisa menjadi rujukan dalam menuliskan latar, seperti ‘Ronggeng Dukuh Paruk’, novel ‘Kemarau’ AA Navis, atau jika mencari rujukan penokohan yang kuat bisa membaca novel ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ milik Buya Hamka.

Menulis untuk populer?
Menulis karya secara populer kini selalu mendapat tempat dan apresiasi karena disukai masyarakat. Kebanyakan karya dalam bentuk buku tersebut diubah menjadi film. Seperti film Dilan 1990, film yang diangkat dari novel.

Film-film lain yang diangkat dari novel adalah Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Assalamu’alaiku Beijing, Jilbab Traveler, Pesantren Impian, Cinta Laki-laki Biasa, Surga yang Tak Dirindukan 1 dan 2. Karya-karya Hanum Rais diangkat dari buku yaitu 99 Cahaya di Langit Eropa, Bulan Terbelah di Langit Amerika, dan yang terbaru ‘Hanum & Rangga’ yang diadaptasi dari Buku Faith and The City.

Kini banyak juga yang berharap bisa menulis dan berharap nantinya bisa difilmkan. “Tapi apakah tujuan menulis itu untuk difilmkan? Padahal menulis buku dan film itu adalah hal yang berbeda,” ungkap Irfan Hidayatullah (Ketua Dewan Pertimbangan FLP, Ketua FLP Pusat tahun 2005-2009).

Para penulis identik dengan ruang sunyi. Coba kita lihat penulis-penulis yang berhasil rata-rata mereka adalah orang yang tidak silau popularitas. Mereka dikenal karena karya-karyanya yang fenomenal, seperti Taufik Ismail, Sapardi Joko Damono, Seno Gumira Ajidarma, dll.

Sedangkan popularitas, yang dijelaskan Yasraf Amir Piliang dalam bukunya, “bahwa ideologi populerisme merayakan citra ketimbang makna, kulit luar ketimbang isi, penampilan ketimbang esensi, popularitas ketimbang intelektualitas. Ideologi populerisme menghambat proses pencerahan atau iluminasi kebudayaan, dan menghambat pencarian identitas diri yang otentik, disebabkan kebudayaan digiring ke arah perayaan penampakan luar yang semu.”

Sehingga kita memiliki alasan yang kuat untuk menulis. Seperti menulis sebagai mata pencaharian, tidak ada salahnya menulis untuk populer, namun setiap orang tentu akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Menulis bagi saya merupakan langkah berjuang. Menulis merupakan cara berjuang bagi saya seorang ibu rumah tangga.

Menulis untuk membebaskan, menulis sebagai langkah berjuang memberikan konten-konten positif untuk remaja dan para pembaca. Sehingga pembaca bisa mendapatkan manfaat dari apa yang saya tulis. []


Sumber bacaan:
1. Fiske, John. 2011. Memahami Budaya Populer. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
2. Amir Piliang, Yasraf. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Penerbit Matahari.
3. Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

No comments