Merdeka dari Buku Bajakan dalam Novel Selamat Tinggal - Tere Liye

Novel Selamat Tinggal - Tere Liye


Tak berapa lama lalu, saya baru menyelesaikan baca buku seri fantasi Tere Liye seri akhir  review novel Nebula, saya melihat iklan buku terbaru Tere Liye “Selamat Tinggal”. Saat memasuki Gramedia, kita akan melihat etalase berbentuk diagonal dan di dalamnya terpampang buku-buku, semua kotak terisi buku “Selamat Tinggal” Tere Liye. 

Saya langsung berfikir kira-kira berapa biaya operasional iklan untuk simpan buku di depan toko. Hal lain yang terfikir juga, “Hebat, bukunya best seller lagi kayaknya.” 

Novel populer yang viral diperbincangkan saat ini. Saya pun bertanya-tanya kira-kira cerita apa ya?

Kita tidak sempurna. Kita mungkin punya keburukan, melakukan kesalahan, bahkan berbuat jahat, menyakiti orang lain. Tapi beruntunglah yang mau berubah. Berjanji tidak melakukannya lagi, memperbaiki, dan menebus kesalahan tersebut. 

Mari tutup masa lalu yang kelam, mari membuka halaman yang baru. Jangan ragu-ragu. Jangan cemas. Tinggalkanlah kebodohan dan ketidakpedulian. Apalagi pura-pura bodoh, bebal, keras kepala, tidak peduli saat nasihat tiba. Ucapkanlah Selamat Tinggal kepada sifat membantah pada kebenaran, Selamat Tinggal kepada selalu berkata tidak pada kejujuran, serta suka sekali berseru tapi, tapi, dan tapi. 

Baca sinopsisnya kalimat-kalimatnya nyastra, langsung terbayang diksi nyastra, dan lainnya. Namun rupanya di sinopsis buku tersebut adalah kalimat milik Sutan Pane. Sedang isinya malah tidak seperti dugaan—tidak begitu nyastra. Seketika merasa jetlag dan merasa kehilangan Tere Liye dari cerita fantasi dan cerita dalam novel Selamat Tinggal yang berfokus pada sastrawan Sutan Pane.

Tere Liye mengawali tulisannya dengan mendeskripsikan tempat atau setting tempat toko buku dekat KRL yang selalu dilalui mahasiswa karena lokasinya strategis dekat kampus dan sekolah. Toko buku berjejer, bersaing dengan toko buku lain.–Saya langsung terfikir dengan toko buku terkenal di kota saya, dan saya pernah juga tertipu saat menjadi mahasiswa dulu karena berpikir buku-buku disana asli, namun kertas buram dan tak minat membacanya. 

Sintong Tinggal, penjaga toko buku Berkah yang juga menyenangi sastra.  Sintong bukan sekadar penjaga toko, tapi ia juga Mahasiswa Fakultas Sastra. Sebetulnya terjadi pergolakan batin pada Sintong (kenapa namanya Sintong-haha) karena ia tahu usaha Paklik Maman adalah buku bajakan yang bertentangan dengan hatinya. 

Sintong membantu usaha Pakliknya atas permintaan Ibunya--Sintong pergi ke rumah Paklik Maman di Pasar Senen. Ia telah diterima di kampus besar Fakultas Sastra dan merantau ke Ibukota, menuju pul bus AKAP (Antar Kota Antar Provinsi).

Bersama Paklik Maman, Sintong mendaftar di Rektorat. Biaya uang pangkal, SPP, jaket almamater, kos dan makan semua dari Paklik asal Sintong mau menjaga toko bukunya. 

Di bab pertama menarik karena Sintong bertemu dengan Jess, Mahasiswa FE yang membeli karya Pram. Ada juga Bunga, teman yang bersamanya tidak niat membeli, dia menghargai karya sastra, dan bertanya, mengapa karya bagus hanya dibayar dengan murah? 

“Ckckck.. Buku dari penulis yang nyaris mendapat nobel hanya dijual tiga puluh ribu bajakannya. Itu benar-benar penghargaan tinggi buat Pram.” (hlm 14) 

Masa-masa awal Sintong di kampus adalah masa keemasannya. Tahun pertama dan kedua, Sintong tampak bersinar. Tulisan-tulisannya masuk ke Koran nasional dari mulai cerpen, esai, artikel, resensi. 

Hal yang membuatnya hampir di DO karena Sintong patah hati oleh Mawar, teman SMA-nya. Gadis yang dulu membuatnya dua tahun bagai berada di langit, kemudian terempas ke bumi, empat tahun tersungkur tiada daya. Enam tahun sudah dihabiskan di kampus. 

Dekannya menuntut Sintong untuk segera lulus. Sintong menetapkan hati untuk segera menyelesaikan skripsinya dengan tema Sutan Pane--setelah sempat berganti-ganti tema atau cakupan masalah yang diambil untuk skripsi. 

Pertemuan tak di sengaja di Kantin Sastra antara Jess dan Sintong, membuka informasi baru bahwa ternyata Sintong anak Fakultas Sastra yang semula hanya hanya dipikir penjual buku (bajakan). 

Jelek-jelek gini dia juga mahasiswa kampus ini lho. “Aku mahasiswa disini.” (hlm 32)

Lalu saya berfikir bahwa tulisan Tere Liye dalam novel ini biasa dibanding dengan Seri Bumi sampai Nebula (menurut saya pribadi lho, ya!)

Sintong sampai menunjukkan “bukti” bahwa benar ia Mahasiswa Fakultas Sastra pada Jess dan Bintang. 

Dalam novel ini dijelaskan tentang permasalahan buku bajakan seperti beli buku bajakan tapi minta kuitansi harga buku ori yang berarti membantu orang lain korupsi juga. 

“Ini buku bajakan. Semua bajakan. Oleh sebab itu, setiap bulan biasanya ada petugas berseragam yang datang minta jatah, upeti. Kadang permintaan mereka normal lancar, kadang mereka bertingkah.” (hlm 22) 

Novel yang ringan, bisa baca dalam sekali duduk, dan bisa dibaca untuk usia remaja sekalipun karena bahasa diksinya sederhana. 

Novel ini merupakan sindiran untuk pemain dalam industri buku bajakan. Bagaimana memang sekarang mereka juga merambah di marketplace dengan memasang harga murah jatuh sekali, sampai ada yang menipu, memasang harga normal.

“Di toko online kan tidak ada razia petugas. Lebih aman jualan disana.” (hlm 64)

Mereka, tiga puluh tahun mencuri miliaran rupiah rezeki penulis. 

Dimulailah Sintong mengurusi skripsinya mengambil tema Sutan Pane. Ia menyusur dan riset ke beberapa orang yang berkait dengan Sutan Pane. Sintong menghubungi Pak Darman yang merupakan orang yang pernah bertatap langsung dengan Sutan Pane. 

“Saya beberapa kali bertemu dengannya, tapi lebih banyak membahas tulisan, bukan tentang kekhawatiran dibungkam oleh penguasa atau kelompok yang tersinggung. Sutan Pane tidak pernah membahas tentang itu. Yang saya ingat, satu minggu sebelum peristiwa tahun 1965 meletus, Sutan Pane lenyap. Tidak ada di rumahnya, dan tidak ada yang tahu kemana dia pergi.

“Bertahun-tahun setelah situasi membaik, saya berusaha menemukan jejaknya, sia-sia, Sutan Pane bagai hilang ditelan bumi. Saya tidak tahu apakah dia masih hidup atau meninggal, maka setiap saya menulis selamat ulang tahun, saya menuliskan periode tahun 1930-1965, karena di tahun itulah dia menghilang.” (hlm 92) 

Dijelaskan pula Sutan Pane tengah menulis lima naskah buku, dan Sintong mendapat kliping tulisan hadiah dari Pak Darman yakni tulisan Sutan Pane dari tahun 1950-an sampai 1965. 

“Tuliskanlah tentang Sutan Pane. Warisi semangatnya. Keberaniannya visinya. Netralitasnya. Kamu bisa menjadi penulis seperti seorang Sutan Pane.” 

Di kampus, Sintong juga merupakan senior yang mengikuti ekstra kulikuler Gelora Mahasiswa (GM). Jess dan Bunga juga ikut sebagai anggota dan Jess ingin tulisannya dikritisi Sintong. 

Sintong juga menyusuri informasi tentang Sutan Pane sampai menemukan lagi Bu Hardja. Sutan Pane bukan sekadar penulis biasa, ia juga ingin generasi berikutnya memahami politik dengan benar sehingga ia menulis dengan netral dan objektif. 

Setelah sudah melakukan riset sedemikian, Sintong berfikir kira-kira judul apa yang akan dipakai ketika tulisannya rampung nanti. Lalu ia berfikir akan memberi judul pada skripsinya Netralitas dan Objektivitas Tulisan. Studi Kasus dari Sutan Pane. 

Pak Dekan juga bertanya tentang judul versi lain jika skripsi ini dijadikan buku populer (Waah, langsung terbayang senangnya jika ini terjadi: skripsi bisa jadi buku). 

Sintong punya judul sendiri, “Sutan Pane, Suara Lantang di Tengah Senyap.” 

Dijelaskan pula bahwa industri bajakan juga tidak hanya ada pada buku saja, tapi film atau serial bajakan, padahal mereka hanya menonton dari streaming atau download dari website bajakan. 

Novel Tere Liye ini pun dilengkapi dengan halaman tambahan di akhir novel, yakni ciri-ciri buku bajakan, ciri-ciri e-book illegal, dan imbauan seperti tidak membeli buku bajakan, stop hentikan membeli buku mereka, dan beralih pada membeli buku ori. 

Hal-hal yang nyentrik dari Sintong bisa terlihat dari percakapan dengan teman-temannya, misalnya Apa kabar Sang Penulis? Sintong hanya menjawab singkat, “Masih hidup.” Mahasiswa nyentrik, rambut gondrong, wajah Rambo, tapi hatinya jujur, tulus biasanya memang anak Fakultas Sastra. 

Sintong juga mulai menulis lagi dan dimuat di Koran (rasanya tidak ada yang menandingi perasaan saat tulisan dimuat di Koran, bukan?). 

Seketika berfikir, beruntung sekali Sintong Tinggal yang ketika menulis tulisannya langsung dibaca oleh banyak orang. Teman SMA tahu, bisa mengakses, teman kuliah tahu, dosen tahu, bahkan setelah menulis cerpen Sutan Pane, ada orang yang ingin bertemu dengan Sintong dan mengungkap alasan kenapa lima huruf mesin ketik Sutan Pane hilang. 

Padahal… kenyataannya saat kita menulis dan tulisan kita dimuat, tak benar-benar semua orang tahu. (Bukan maksud ingin pamer sih, tapi yang membaca Koran sedikit). Kadang yang melek baca ya orang itu lagi yang seneng baca biasanya. Apalagi dengan bergesernya dari media cetak ke digital. 

Tapi kalau anak Sastra, sesama pegiat literasi yang mengucap selamat kepada Sintong karena tulisan berhasil dimuat, saya masih bisa percaya karena anak GM biasanya ya senang membaca dan membahas karya setiap anggotanya, bedah tulisan yang dimuat di koran. 

Tulisan Sintong yang dimuat Legalisasi Korupsi oleh Negara. Sintong tidak menyebut contoh proyek apapun. Tulisan itu adalah kontemplasi, gagasan tentang edukasi politik, melek politik agar selalu ada kontrol dari rakyat atasi legalisasi korupsi yang dilakukan oleh Negara. 

Dalam buku ini juga dijelaskan tentang industri palsu bukan buku saja. Tapi juga ada obat-obatan, tas, barang-barang. 

Ini agak berbeda dengan bisnis buku bajakan yang pembacanya tidak akan mati gara-gara obat palsu. Juga berbeda di bisnis buku bajakan yang lawannya hanya penulis lemah. Di bisnis obat palsu, lawan mereka adalah farmasi raksasa. Sekali mereka marah, ada kasus yang membuat buruk nama obat mereka, panjang urusannya. (hlm 250) 

Diceritakan bahwa Mawar masuk penjara karena kasus obat palsu yang melilitnya. Mawar yang kuliah di Akademi Keperawatan ternyata terlibat dengan jaringan sindikat obat palsu. Dan sang suami yang merupakan oknum lari, dan menceraikannya, membawa semua tabungan, deposito, sertifikat kebun kelapa sawit ratusan hektar. Mawar ditangkap dan harus mendekam di penjara selama enam tahun. 

Disini cinta Sintong diuji, di saat yang sama Jess juga selalu menghubungi Sintong. Kepada siapakah Sintong akan melabuhkan cintanya?

Dalam novel ini juga dibahas tentang kesamaan Jess dan Bunga yakni sama-sama berasal dari keluarga pembajak. Jess benci orang tuanya, pemilik J&J Colletions yang menjual produk KW, tiruan, menjiplak. Bunga lebih-lebih amat membenci keluarganya. 

Awalnya ia suka beli buku di Gramedia, namun Papanya melihat itu sebagai ladang bisnis dengan mencetak bajakannya. Diantara semua tokoh, saya suka Bunga. Kritis, berani, dan punya prinsip. 

Sampai akhir halaman saya tunggu kisah Bunga ini. Dalam novel diceritakan konflik batinnya yang selama ini sangat dekat dengan usaha buku bajakan, ia sempat berusaha membakar seluruh percetakan milik Papanya namun gagal. 

Sintong mulai izin menyatakan berhenti menjaga toko buku Paklik, termasuk mengurus toko online. 

“Apapun yang terjadi, dia telah mengambil keputusan. Hari ini dia merdeka dari buku bajakan!” (hlm 266) 

Jadi yuk beli buku ori. Selamat membaca.  

DESKRIPSI BUKU

Judul: Selamat Tinggal 

Penulis: Tere Liye 

Cetakan: 2, November 2020

Penerbit: : Penerbit Gramedia 

Tebal: 360 halaman

ISBN: 978-602-064-782-1


22 comments

  1. TRus aku membayangkan yang ditulis begini..
    Apa kabar Sang Penulis? Sintong hanya menjawab singkat, “Masih hidup.” Mahasiswa nyentrik, rambut gondrong, wajah Rambo, tapi hatinya jujur, tulus biasanya memang anak Fakultas Sastra.

    Langsung membayangkan wajah dan fisiknya Sintong dengan ciri2 di atas, hahhaa..

    Makasih loh ulasannya, dan aku pun jadi banyak belajar bagemana ciri2 buku bajakan dan semoga bisa memilah mana yang asli dan engga. Ga diragukan lagi kalo penulis Tere Liye emang juara, kata2nya kadang nyess..

    ReplyDelete
  2. Aku juga suka mbak buku2 Tere Liye, bagus-bagus, tapi aku baca kebanyakan buku punya keponakan, dia punya hampir semua buku Tere Liye, jadi aku pinjem buat baca, selesai satu pinjem lagi yang lain. Ahaha

    ReplyDelete
  3. Tere Liye memang penulis yg anti-mainstream!
    Berani mengangkat tema2 yg serius dan rentan kontroversi ya mba
    Tapiii, dia mengeksekusi topik2 itu secara mantab jiwa dlm novel2nya
    SALUT!

    ReplyDelete
  4. Wah yang ini kayaknya belum ada di rumah nih... Tere Liye itu penulis favorit anak2ku nih, jadi bukunya banyak nih di rumah tapi aku baru baca beberapa buku saja hehe...

    ReplyDelete
  5. Emang bajakan marak mbak yang penjual pun tidak punya wajah berdosa secara tidak sadar udah ambil hak orang lain dengan cara tidak benar.

    ReplyDelete
  6. ngomongin buku bajakan, saya sering liat di market place, buku yg di cetak kembali, harganya setengah harga aslinya, itu termasuk bajakan kah?

    ReplyDelete
  7. aku suka penulisan oleh Tere Liye agak pas sama karakter saya, wkwkw....mengenai buku ori atau gak...saya selalu beli ori...gak pernah beli yg abal2....kesian para penulis buku donk ya klo qt konsumsi yg bajakan

    ReplyDelete
  8. Kasus bajak membajak memng susah sekali dihilangkan, kecuali ada kesadaran dari dalam diri sendiri. Kita memang gak bisa mengatur orang lain. Makanya saya sendiri keras soal mengambil milik orang lain sama anak-anak. Demi membangun mental mereka biar gak jadi pencuri. Kalau sudah disampaikan dengan enak melalui buku gini, jadi secara gak langsung penggemar Tere Liye sadar akan hal ini.

    Dan saya, sangat mendukung buat gak beli bajakan, mau buku atau apapun itu :)

    ReplyDelete
  9. Suka banget sama petikan kalimatnya Mari membuka halaman yang baru jangan ragu-ragu, jangan cemas. Memang kita harus berjalan ke depan ya. Aku sempat lihat novelnya nih pas ke Gramed, beberapa buku Tere Liye aku punya tapi yang baru-baru malah gak ada. Aku selalu beli buku di toko buku resmi, Insya Allah ori

    ReplyDelete
  10. menarik jugaaa ya mba dan ini adalah fenomena yang begitu dekat dengan dunia kita. Aku pernah merasakan stressnya beli buku kuliah yang harganya fantastis dan memng membeli buku bajakan itu godaan banget yaaa

    ReplyDelete
  11. Berkata tidak pada ketidakjujuran dan semua itu sangat dibutuhkan sekali pada jaman ini ya.

    Buku bajakan dan obat palsu harus lekas diberantas memang sih. Merugikan sekali untuk para penulis buku, dan pesan yang disampaikan Tere Liye dari novelnya, semoga dapat dipahami oleh para penikmat buku ya

    ReplyDelete
  12. Belum punya bukunya Tere Liye, tapi saya juga ogah deh beli buku bajakan, nggak keren sama sekali, daripada beli bajakan, mendingan sewa punya teman hihihi.

    Btw, Tere Liye memang selalu anti mainstream ya, jadinya lebih terkenal :)

    ReplyDelete
  13. Aku baru tau kalau buku-buku yang terpampang didepan begitu memasuki Gramedia ada biaya ngiklannya ya mbak. Btw Tere Liye ini novelnya bagus-bagus ya ceritanya selalu mengenai.

    ReplyDelete
  14. Dulu aku suka sama karya2 Tere Liye mulai bumi, hujan, rindu, negeri para bedebah, pulang dll . tapi pas kenal dia di fanpagenya jadi Ilfil.
    hehe....

    ReplyDelete
  15. Yang ini aku belum punya Mba, banyak banget buku tere liye
    Aku nggak ikutan PO ini pas kemarin launching. Lupa udah kelewatan. Semoga kaalau ada promo aku mau beli hehehehe

    ReplyDelete
  16. Buku bajakan atau industri bajakan lain bikin sedih, ya. Mirisnya, masih banyak yang belum mau mengerti bahwa bajakan itu salah. Alasan seseorang memilih bajakan ada macam-macam. Miris.

    ReplyDelete
  17. Wah aku lagi baca Pulang nih karya Tere Liye. Meski bukan buku baru tapi suka sama ceritanya. Dan ngomong-ngomong soal buku aku juga anti beli yang bajakan deh. Kasian penulis nya. Soalnya aku juga penulis. Tau gimana susahnya nulis huhuhu

    ReplyDelete
  18. Kok terasa berbeda "napas" dari Tere Liye "Selamat Tinggal" ini yaa, teh?
    Biasanya novel ringan imajinatif.
    Kudu banget ngincipin Selamat Tinggal, Tere Liye.

    ReplyDelete
  19. menarik yaa POVnya novel ini, terutama karakter utamanya nyentrik dan rebel gitu, ngomong soal buku bajakan, jadi inget ada seorang teman pernah meremehkan soal lomba blog, ah kan cuma mudal nulis, hahah disitu saya kesel cm nyengir aja berarti kan yang ngomong emang gak pake otak yaa hahaha secara kan namanya nulis tuh wajib pake otak pake riset bahkan

    ReplyDelete
  20. Minggu lalu ke toko buku mengantar anak buat beli komik. Aku hanya mampu menatap buku-buku Tere Liye itu dari dekat. Pengen rasanya ngeborong semua tapi budget yang tersedia buata jatah anak. Terpaksa mengalah. Huhu

    ReplyDelete
  21. Menarik sekali nih buku Tere Liye yang ini. Jadi penasaran aku mba pengin baca sendiri kisah tentang Sintong Tinggal yang harus bergulat antara balas budi kepada pakliknya atau menegakkan kebenaran yang diyakininya.

    ReplyDelete
  22. Awalnya aku tau tere liye tuh dari kawan yg minta aku add Facebook nya. Eh ketagihan baca novelnya sampe sekarang. Tapi yg sintong ini belom baca sih. Thank you spoiler nya mbak! Aku skrg beli ebooknya aja bukan buku fisik hehehe
    Disana jg suka ditulis, kalau kalian baca ini bukan di Google playbook itu tandanya kalian mencuri
    Kira2 begitu warningnya

    ReplyDelete