Menuangkan Nuansa Lokalitas dalam Cerpen

menuangkan nuansa lokalitas

Mengupas unsur-unsur cerpen selalu menarik untuk disimak. Senangnya setelah sekian purnama bisa cari ilmu lagi, ikut kelas Upgrading menulis lagi oleh kang Wildan Nugraha, mantan Ketua FLP Jabar. Bahasan kali ini mengenai "Menyempurnakan Tulisan: Seni Menuangkan Nuansa Lokalitas dalam Cerpen". 

Jumat, 25 Februari lalu, Kang Wildan menjelaskan bahwa saat ini banyak sering orang-orang mempertanyakan tentang tulisan bagus yang identik dengan lokalitas. 

Jadi yang sering terbayang dari kata "lokalitas sastra" adalah berbau hal eksotis. Kemudian bayangan dari kata "lokalitas" adalah desa/budaya/tradisi. Atau dikaitkan dengan aspek kultural dan suatu tempat tertentu. 

Padahal menurut Kang Wildan lokalitas itu tidak terbatas itu lokal kota juga bisa. Lokalitas tidak terbatas di desa, tapi di kota juga nggak apa-apa. 

Aspek kultural atau budaya aspek kota cenderung individualis. Sedangkan lokalitas desa kita sering mengenal guyub dalam cerpen ataupun novel. 

Sering kita mengaitkan lokal itu ke Timur dan global itu ke Barat yang berarti maju. 

Edward Said seorang orientalis lokal dipertahankan seperti itu agar dipertahankan. Guyub terbelakang.

Stigmasisasi wacana yang harus dibongkar. 

Lokal tidak hanya berbicara di Indonesia, tapi juga bisa menulis lokalitas di negara Jepang atau dimanapun di suatu negara bisa lokalitas. 

Kawabata, Ziber Weve mengatakan bahwa lokalitas yang diangkat menjiwai dan atau tidak dibuat-buat.

Agus R. Sarjono mengatakan bahwa sudah saatnya penulis-penulis Indonesia menulis hal-hal keseharian mereka. Jangan tergoda menulis hal-hal yang lain. 

Seringkali kita ini menulis sesuai dengan trend. Saat ramai trend lokalitas, nulis tentang lokalitas. Saat ramai menulis tentang keislaman semua ramai menulis itu. Sebaiknya tulislah apa yang terjadi sehari-hari.

Menulis terjadi karena proses kreatif yang tidak final. 

menulis di sawah

Jika ingin tahu tulisan Master dan memuat lokalitas, kita bisa melihat dari tulisan Budidarma (Alm) beliau menulis tulisan berjudul "Orang-orang Bloomington". Pada saat menuliskannya, proses kreatif Budidarma itu pada saat itu sedang di Bloomingtoon. Terus ada waktu lowong dipakai buat jalan-jalan, kemudian dia nulis. 

Selain itu ada OLENKA mood bagus, waktu ada jadi keluar begitu saja tulisannya.

Kalau saat itu Budidarma sedang di Surabaya mungkin tulisannya bukan berjudul Orang-Orang Bloomingtoon, tapi Orang-Orang Surabaya. Bagi penulis menemukan sesuatu hal yang unik keseharian lokal disana, tentu bisa menjadi ide cerita menarik. 

Terlebih obsesi Budidarma yaitu hakikat hubungan antar manusia. 

Karakterisasi atau latar mungkin muncul tak tertahankan lagi. Kadang lokalitas dinaikkan terlalu berlebihan. Lokalitas menjadi kurang penting. Obsesi tadi bisa tertutupi. 

Ahmad Tohari dalam novel "Ronggeng Dukuh Paruk" menulis lokalitas dengan sangat kuat, setting pedesaan yang sangat nyata, dan tokoh-tokoh menyatu dengan alam. Lokalitas benar-benar dalam realita. 

Tulisan lain misalnya dalam karya Barat. Novel Ralvinus bersetting gang-gang di Surabaya, selain itu jalan-jalannya menyusuri jalan-jalan di Surabaya. Bahkan menariknya lagi, novel Ralvinus ini dijadikan penelitian kesesuaian antara novel di fiksi dengan setting aslinya. 

Baca juga: Novel Serius dan Novel Populer

menulis setting nyata dan fiksi

Lokalitas bisa real ada, boleh imajinasi manusia adalah main-main saja. 

Misal kita saat akan menulis, menulis kalau di Bandung ada gedung pencakar langit 40-50 lantai, kita membawakannya dengan bagus bisa jadi orang percaya. Padahal realitanya sampai saat ini tidak ada di Bandung.

Dalam menulis fiksi kita bisa menulis keduanya yang sudah ada settingnya kita tulis, ataupun setting yang sesuai imajinasi penulis. Jadi kita bisa menulis dengan luwes, bebas dan kreatif. Jangan takut bereksperimen. 

Selain itu dalam menulis penting mengangkat realitas yang ada. Ketika menuliskan imajinasi, tapi juga coba perhatikan ada logika fiksi tidak disana? Kita bisa menulis meyakinkan. Jangan sampai orang berpikir, naha kieu?

Menurut Kang Wildan, ada artikel Ahmad Tohari berjudul "Pewaris Lokalitas Desa" nikmat-nikmat tulisannya. Akrab dan mengangkat lokalitas orang desa. 

Baca juga: Review Novel Bekisar Merah - Ahmad Tohari

*

Sedang terjadi perubahan zaman dari lokal tradisi ke globalitas mungkin dimulai tahun 2007. Seni pedesaannya mungkin sudah rusak. 

Penolakan pemuda pedesaan mengerjakan pekerjaan pertanian dan pemuda desa bahkan lebih memilih ngojek daripada tani. Padahal gambaran petani itu begitu humble. Lalu pemudanya sekarang kemana? Kebanyakan sekarang petani modern. 

Meminjam istilah dari Ahmad Tohari, Terjadi desa subsidi sungsang dengan kota. Jomplang jual beras ke tengkulak untungnya besar. Bukan subsidi silang jadinya. #miris

Tulisan Ahmad Tohari yang lain berjudul "Kritis" tentang Sejarah Sastra pada tahun 60'-70'an ada stigma realisme sosial terpinggirkan di cap "kiri". 

Sekarang beda zaman mengangkat yang realitas di desa timpang yang diangkat. Cari masalah realitas desa, jadi memberi kesadaran untuk yang lain. 

Munculin dulu obsesi pribadi kemana lokalitas perlu diangkat atau mungkin nggak juga gak apa-apa.

Kang Wildan pun pernah bercerita bahwa beliau pernah tinggal 4 bulan di Pontianak sudah lama ya berapa puluh tahun lalu saat terjadi konflik etnik Madura - Dayak. Kang Wildan pun menulis cerpen berdasarkan sumber diri sendiri dan ada riset sedikit. 

Meski sudah menulis kedai kopi + perpustakaan Lokalitas yang muncul disana tidak merepresentasikan aspek kultural, tapi justru aku yang episode tinggal di Pontianak dimuat di majalah. 

Jadi menulis ini bisa jadi senjata untuk berdakwah. 

Lalu saya bertanya pada saat itu tentang seberapa penting tulisan ada dialog bahasa daerahnya untuk dimasukkan ke dalam cerpen? Kang Wildan pun memberi penjelasan bahwa asal tidak mengganggu dan enak dibaca ya tidak apa-apa.

Tekniknya ada tanda kurung, ada tanda kaki. Menjelaskan dialog asal enak dibaca dan tidak mengganggu prinsipnya kalau memakai bahasa lokal dalam tulisan. Tapi tidak memakai bahasa daerah pun sebenarnya tidak mengapa. 

Selain itu ada contoh bahwa Umar Kayam memakai bahasa dialek dikasih tanda kurung 'rasanya' dialek Sunda. Ada narasi penjelasan. Jadi menulis sembari membayangkan saat menjadi pembaca, kira-kira pembaca mengerti tidak?

Tapi kalau dialog-dialog umum seperti hatur nuhun, suwun itu tidak perlu dijelaskan lagi karena umumnya orang-orang mengerti. Kecuali memang dialog khusus yang jarang orang tahu, kita bisa memberi penjelasan agar pembaca paham.

Kita bisa menuliskan, menggambarkan Lokalitas yang tampak zahir, tapi "lokalitas yang dalam tidak terlihat" yang nggak mudah, seperti kearifan lokal. unsur karakteristik latar.

Saat Kang HD menanyakan referensi bacaan apa yang bagus, Kang Wildan merekomendasikan berikut:

1. Senyum Karyamin - Burung Pemecah Baru orang terdzalimi setting desa.

2. Kuntowijoyo - Anjing-anjing 

3. Kuntowijoyo - Mantra Pejinak Ular 

4. Ulid - Petani Bengkuang di Jawa 

Baca juga: Review Novel Pasar - Kuntowijoyo

Semoga saya bisa dapatin semua buku referensi di atas untuk dibaca. Aamiin. Selamat menulis! 

No comments