MEMBONGKAR LIBERALISASI



Oleh Sri Al Hidayati
 
Judul : KEMI 2 Menyusuri Jejak Konspirasi
Penulis : Adian Husaini
Editor : Ika W
Cetakan : I, Dzulhijjah 1433 H/ Oktober 2012 M
Penerbit : Gema Insani
Tebal : 163 halaman
ISBN : 978-602-250-068-1
Harga : Rp 44.400

“Shhh...,“ Bejo meringis sambil memegang kepalanya yang pusing. Rupanya ia baru tersadar dari pingsan. Ia memandang ke sekeliling. Dari jendela yang bertelaris, Bejo bisa melihat hamparan kebun teh menghijau.

“Di Puncak rupanya,” gumamnya lirih.

Perlahan-lahan Bejo berusaha mengingat-ingat kejadian yang menimpanya kemarin sore. Sepulang dari rumah Doktor Rajil, Bejo pergi ke Bundaran HI meliput aksi demontrasi dari kelompok Indonesia Menolak Islam Liberal untuk menandingi aksi demonstrasi kelompok Islam Liberal yang mengusung isu pembubaran sebuah ormas Islam. Para pengusung liberalisme menganggap ormas Islam tersebut sudah melanggar HAM karena memerangi kaum sesat.

Selesai meliput, Bejo berencana langsung menuju kantor berita Indonesia Jaya di daerah Kuningan. Ketika Bejo melintasi jalan Jenderal Sudirman, sekitar seperempat jam setelah Bejo sms Ahmad Petuah, tiba-tiba ada sebuah minibus yang memepet motornya. Dua orang membuka pintu dan langsung membekap Bejo dengan tisu yang sudah dibasahi dengan obat bius. Ketika tersadar, mata Bejo telah ditutup kain. Beberapa kali Bejo berusaha berontak. Walhasil, beberapa kali pula pukulan keras menghantam perut dan pelipisnya.

“Kalau masih berusaha melawan, kita habisi saja dia, Kin, ha… ha… ha…,” kata suara dari bagian depan mobil. (hlm. 217-218)

SEMUA berawal dari kisah seorang wartawan bernama Bejo Sagolo ingin menyaksikan persidangan Roman yang telah melakukan penganiayaan KEMI. Kemi yang cerdas, dijebak dan dimanfaatkan kepandaian dan statusnya sebagai mantan santri untuk melakukan proses liberalisasi. Nyatanya, terdakwa kasus penganiayaan terhadap Kemi, Roman diberi hukuman hanya dengan satu tahun penjara. Sepanjang mempelajari Kemi, Bejo sadar, dirinya terbawa semakin jauh dalam dasar masalah KEMI. 

Baru-baru ini kita tahu M. Irfan Hidayatullah menulis SANG PEMUSAR GELOMBANG (Grafindo, 2012). Membaca buku ini mengenalkan, menyegarkan ingatan, kepada Imam Syahid Hasan Al Banna. Keempat tokoh sentral di novel ini tersimpul satu sama lain pada sebuah pemikiran yang sama, yakni Syaikh Hasan Al Banna.

Maka tak jauh berbeda, lahirlah pula novel pergerakan berjudul KEMI: CINTA KEBEBASAN YANG TERSESAT mengungkap kubangan liberalisme di Indonesia. Ditulis oleh seorang mantan wartawan senior dan seorang dosen Jurnalistik dan pemikiran Islam di Universitas Ibnu Khaldun Bogor dan Pesantren Tinggi (Ma’had ‘Aly) Husnayain Jakarta. Beliau telah menelurkan banyak karya: 120 buku tentang pemikiran Islam, dan KEMI adalah satu buku yang ‘berbeda‘ karena beliau menuliskannya dengan gaya bahasa novel. KEMI Cinta Kebebasan yang Tersesat (Gema Insani, 2010) dan mendapat respon luar biasa dari pembaca di Indonesia, hingga pada bulan April 2011 memasuki cetakan keempat. 

Mari kita mundur sejenak ke alur cerita KEMI I, KEMI adalah salahsatu murid terbaik Kiai Rois di Minhajul Abidin, Madiun, Jawa Timur yang memutuskan keluar dari pesantrennya untuk belajar di Kampus Damai Sentosa, sebuah Institut Lintas Agama yang berlokasi di kawasan Depok Jawa Barat. Segala ilmu yang Kemi miliki di pesantren, berubah total. Semula Kemi rajin beribadah, kini malah berubah menjadi tidak shalat. Kehidupannya dibiayai dengan harga tinggi karena terus menyebarkan pemikiran liberal dan nyatanya tidak sedikit anak pesantren ingin mengikuti jejak Kemi. 

Kiai Rois, guru Kemi di pesantren meminta Rahmat mengingatkan Kemi untuk tidak menyimpang seperti orang liberal. Rahmat tidak dapat meluruskan Kemi, tapi menyelamatkan pemikiran Siti, anak Kiai yang terjerumus dalam liberalisme, sehingga pulih seperti sedia kala. 

Dalam Novel keduanya ini, terdapat tiga garis besar cerita, yakni: 1) KEMI yang hilang dari Rumah Sakit oleh sejumlah oknum (dan semua pihak mencarinya), 2) Mengenal Tokoh Liberalisasi kelas Kakap, dan 3) Siti Debat Gender di DPR. 

Secara keseluruhan, cerita KEMI ini sangat mencerahkan, membuka wawasan terutama untuk insan yang khawatir terjerat dengan liberalisasi, sehingga bisa mengantisipasinya. Dengan gaya bahasa ringan, novel KEMI dapat diserap dengan mudah. 

Ada gagasan menarik yang dapat dipetik dari novel KEMI, yakni suspens yang dibuat pengarang agar pembaca tidak lepas dari bacaan. Membuat suspen penting agar pembaca terus dibuat rasa penasaran bagaimana kisah akhirnya karena karakter tokoh dibuat matang, misalnya tokoh Kemi, Rahmat, Siti, Bejo, Rijal dan Habib. 

Terjadi pula percakapan Bejo dan Dr. Rajil mendapat tawaran gaji Rp 40 juta sebulan, asal mau bergabung dengan Dr. Rajil; mengembangkan pemikiran liberal, mendukung konser pemuja setan di Indonesia, mendukung gerakan dan praktisi lesbian. Lho, siapa yang menggurui Anda? Saya hanya mengatakan, saya mau istikharah, kenapa Anda heran? Bukankah Anda orang Muslim juga?“ (hlm 119-120), ungkap Bejo. 

Saat membaca KEMI 2, ada sebuah tanda tanya besar karena Adian Husaini belum menuntaskan ceritanya sampai selesai, yakni Membuka tabir hilangnya Kemi. Pada saat membaca bab terakhir yakni Debat Gender di DPR, seakan tertahan, belum banyak dibahas tuntas; termasuk kisah cinta Rahmat dan Siti. Sehingga, ditarik kesimpulan bahwa buku ini akan berlanjut pada novel KEMI 3. Hal ini diamini oleh penulisnya
.  
Kelemahan dari novel ini adalah cukup banyak dialog yang bertele-tele, novel yang cukup banyak menggunakan kalimat verbal. Mungkin hal ini terasa kental karena keseharian Adian Husaini yang bergelut dengan tulisan non fiksi, dan ini novel perdananya. Tapi terlepas dari itu, Adian Husaini telah berusaha sebaik mungkin menyampaikan/ menjelaskan secara detail kepada pembaca hal yang terjadi dalam dunia liberalisasi secara utuh, selaras, serta seimbang dari mulai tokoh, setting, alur, tema dan amanat.
*
Ada diantara umat Islam saat ini yang menyenangi dollar yang didapat dari aktivitas liberalisasi didanai dari asing. Idealisme dan wawasannya tentang Islam runtuh, digantikan dengan hal yang harus ia perjuangkan. Orang liberal mengajarkan semua agama benar, menghalalkan yang diharamkan Allah, dan suka berkawan dengan orang kafir sambil menjelek-jelekkan orang-orang Islam. 

Percayalah, bahwa di zaman Rasulullah saw. sendiri juga telah ada orang semacam ini, yakni orang di dalam Islam sendiri yang telah mengobarkan fitnah dan munafik. Ia menghembuskan kejahatan serta menyimpang. Karena dengki dan iri terhadap Islam, terutama Rasulullah Saw, maka ia berusaha menghancurkan Islam dari dalam. 

Maka saat ini, lahirlah gerakan untuk melawan liberalisasi di Indonesia, yakni Indonesia Tanpa JIL (Jaringan Islam Liberal). Dengan memanfaatkan social media, Indonesia Tanpa JIL yang diusung oleh Akmal Sjafril dan Hafidz Ary Nurhadi dapat memberi pengetahuan agar orang Islam tidak salah langkah dan terjebak dengan pemikiran JIL, salah satunya menganggap semua agama sama, karena standar Islam adalah harus berdasarkan Quran dan Hadits, maka Islam adalah yang paling baik. 

Dalam buku nya (hlm. 95-96), Adian Husaini secara tersurat memberi penerangan bahwa terdapat upaya kelompok tertentu di AS yang mencoba mengadu domba antara Islam dan AS. Islam ditempatkan sebagai pihak yang bersalah atas segala masalah di muka bumi ini. Isu terorisme diangkat. Tetapi yang diburu hanya terorisme yang terkait dengan Islam. Stigma teroris Yahudi dan Kristen, juga Hindu, tidak muncul. Karena itulah dimunculkan bahaya radikalisme, fundamentalisme, lalu dibuat program deradikalisasi dan sejenisnya yang sebagiannya dibajak untuk kepentingan liberalisasi. 

Dari setiap alur cerita KEMI II, ada yang membuat hati untuk kembali kepada fitrahnya, yakni Allah Swt. Dalam kisah ini, KEMI diculik dari Rumah Sakit oleh sejumlah oknum. Ada suasana yang berbeda di masjid RSJ saat itu. Musibah yang menimpa RSJ atas hilangnya Kemi seperti memengaruhi suasana hati para jamaah shalat Zhuhur. (hlm. 71) 

Ada ketenangan saat Islam secara benar dijalankan oleh para pengikutnya. Bila Islam dilabeli kata “liberal“, maka Islam tidak menjadi Islam yang bersih tapi terkotori. 

Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun, dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.“ (QS An Nur: 39)
Bandung, 3 April 2013
(Dipresentasikan pada acara Kamisan FLP Bandung
 yang diselenggarakan oleh FLP Bandung, 4 April 2013.)

No comments