Kemiskinan, Rokok, dan Capaian SDG's


Sebuah realita, di salah satu kota di Indonesia, terdapat sebuah keluarga berpendapatan rendah yang memiliki anggota keluarga terdiri dari Kakek yang telah punya cucu 3 orang, menantu laki-laki, dan anak laki-lakinya pemuda produktif merokok. Di dalam keluarga tersebut, anak perempuan tidak memiliki pendapatan kecuali dari suaminya, tidak bisa protes menerima uang bulanan yang telah dikurangi pos untuk suaminya tetap merokok.

Alhasil karena pernah tidak tahu harus makan apa untuk menyiapkan sahur esok hari, si istri tersebut datang kepada saudaranya untuk meminta beras. Kalau dipikir-pikir, cost untuk rokok tersebut jika dikumpul antara Ayah, menantu laki-laki, dan anak laki-laki yang sudah bekerja, maka bisa dibelikan stok beras untuk beberapa minggu. Hal ini mungkin saja dialami oleh keluarga keluarga lainnya di Indonesia.

Jika ditotal secara kasar dalam sebulan, seseorang menghabiskan misal sebungkus Rp 15.000 x 30 hari:  Rp 450 ribu untuk rokok. Dalam setahun, Rp 5.4 juta.

Suatu hal yang miris karena kesadaran tersebut tidak dimiliki. Terkadang yang terpenting bagi para Bapak atau laki-laki adalah bisa merokok, bisa ngopi cukup. Meski sudah tahu bahayanya, tapi seakan geming dan tetap merokok. Banyak perokok yang kuat bisa sehari bisa 1 bungkus lebih. Seperti contohnya adalah tukang bangunan. Selain cost biaya makan, dan biaya tukang bekerja, biasanya dimasukkan juga anggaran untuk rokok dan kopi.

Seorang dokter di kota Goch, Jerman, Henky Kusdian mengatakan bahwa, “Merokok merusak pembuluh darah, paru-paru dan jantung pada manusia.” Ancaman utama kesehatan lainnya akibat rokok adalah kanker dan stroke.

Dalam kemasan rokok padahal tercantum tulisan “MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN." Tapi tetap perokok tersebut membeli rokok.

Sebenarnya menurut Kementrian Kesehatan, kerugian total akibat konsumsi rokok selama 2013 mencapai 378.75 triliun. Padahal nilai industri saat ini ditaksir berkisar hingga 224.2 triliun rupiah.

Tingginya angka kerugian berasal dari beban pembelian rokok yang mencapai 138 triliun rupiah, hilangnya produktivitas akibat sakit, disabilitas dan kematian prematur di usia muda sebesar 235 Triliun dan biaya berobat akibat penyakit-penyakit terkait tembakau sebanyak 5.35 triliun rupiah.
Ya, tentunya karena penggunaan rokok di Indonesia yang tergolong ‘sangat gila’.

Talkshow Kemiskinan, Dampak Rokok Murah dan Capaian SDG's

Suasana Ruang Publik KBR serial Rokok Harus Mahal Edisi 4 (06/05/2018)

Hari Rabu lalu (06/06/2018) terdapat talkshow di Radio KBR dalam Program radio Ruang Publik KBR di #RuangPublikKBR serial #RokokHarusMahal edisi ke-4. Serial Rokok Harus Mahal diselenggarakan untuk mengingatkan harga rokok yang murah membuat konsumsi rokok makin tak terkendali, termasuk pada anak-anak dan keluarga miskin.

Pembicara yang hadir Dr. Arum Atmawikarta, MPH, Manager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDGs Kementrian PPN Bappenas, dan juga Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Yang menjadi pemandu talkshow yakni Mbak Arin Swandari.

Talkshow diawali oleh Dr. Arum yang menjelaskan tentang posisi pengendalian tembakau dalam SDG's. Bahwa SDG's (Suistanable Development Goals) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan adalah 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia.

"Nah SDG's yang berkaitan dengan isu pengendalian tembakau merupakan salah satu indikator yang harus dicapai dan ini sudah merupakan kesepakatan dunia, sehingga bagaimana mengurangi prevalensi merokok, terutama pada penduduk di usia di bawah 15 tahun dan 18 tahun. Dan kebijakan-kebijakan lain yang berkaitan dengan rokok, itu letaknya pada goals nomor 3." ujar Dr. Arum.

"Sebenarnya isu tentang rokok dan tembakau itu bukan hanya pada goals 3, tapi juga berkaitan dengan isu nomor 1 yaitu kebijakan tentang kemiskinan, isu nomor 4 tentang pendidikan, isu nomor 2 tentang pangan dan gizi dan isu-isu lainnya. Jadi hampir semua SDG's itu memerlukan dukungan yang kuat, bagaimana kita bisa mensejahterakan masyarakat, termasuk salah satunya adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan juga untuk bisa menghasilkan sumber daya yang lebih baik." tambah Dr Arum lagi.

Data Global Youth Tobacco Surver (GYTS) tahun 2014 menunjukkan prevalensi perokok usia 13-15 tahun di Indonesia mencapai 20.3%%.

“Kelompok masyarakat berpendapatan rendah harusnya dapat mengalokasikan uangnya untuk belanja kebutuhan primer yang lebih penting dibanding rokok. Jika kepala keluarga mengalokasikan uang rokok, maka di sisi lain uang siap pakai untuk kebutuhan keluarga berkurang. Dan risiko kesehatan meningkat sehingga orang mudah sakit, dan biaya ongkos yang lebih banyak, dan produktivitas menurun,” tambah Dr Arum lagi.

Adapula Pak Jalal, beliau dari Koalisi Bersatu Melawan Kebohongan Industri Rokok. Beliau menambahkan bahwa dalam 7 tahun terakhir bahwa penduduk miskin yang merokok itu meningkat. “Dan faktanya, pria Indonesia dewasa sebanyak 67% adalah perokok. Kebanyakan dari mereka berprofesi buruh, petani dan pelayan. Nah dari proporsi merokok itu sebetulnya sangat tinggi proporsi orang miskin.” ujar Pak Jalal. 

Sumber: tirto.id

“Kalau kita lihat buruh, petani, dan nelayan, itu yang paling besar proporsinya jika dibandingkan diantara perokok profesi lainnya. Nah ini sudah dikonsumsi oleh orang-orang miskin. Ke depannya, lebih jauh lagi tentu saja yang terjadi jika perokok ini meneruskan konsumsinya, mereka bisa sakit, kemudian produktivitas menurun, mereka harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk kesehatannya.” kata Pak Jalal lagi.

“Lebih jauh mungkin, sebelum mereka sakit pun mereka sudah menggeser pengeluaran dari pengeluaran bermakna, seperti pendidikan dan kesehatan, sehingga hal-hal seperti nutrisi keluarga digeser oleh 'ROKOK'. Jadi sangat erat, kalau kita mau menyelesaikan masalah kemiskinan. Kita mau mencapai SDG's 1 tentu saja rokok itu harus benar-benar dikendalikan.” tambah Pak Jalal lagi.

Pembicara kedua Tulus mengatakan, bahwa masyarakat menengah ke bawah sangat gandrung dengan rokok. “Terutama karena di Indonesia termasuk rokok termurah di dunia, akses pun mudah, juga dapat dibeli eceran. Tidak ada sisi pengendalian dari sisi penjualan. Ini yang mesti menjadi perhatian."

Keterjangkauan dari segi harga dan akses, juga kecanduan, maka rokok di desain jadi mahal dari sekarang. 

“Rokok itu termasuk produk yang dilekati cukai, kalau produk sudah dilekati cukai, maka produk tersebut tidak boleh dijual sembarangan, dan tidak boleh diiklan. Selain itu, cukai itu yang membiayai ya konsumen. Cukai berbeda dengan pajak. Ada posnya masing-masing. Tapi kenyataannya hanya di Indonesia bisa dipromosikan lewat iklan." tambah Tulus lagi.


Tulus mengungkapkan bahwa, “Sebaiknya cukai perlu pengaturan revisi dari UU Cukai, dan dinaikkan setinggi mungkin yakni 52% dari harga. Karena saat ini implementasinya baru 32%.:”

Untuk mencegah perokok usia anak dan remaja, serta mengurangi konsumsi rokok masyarakat berpendapatan rendah, yaitu:
1. Tindakan preventif dengan tidak terpapar rokok sejak kecil
Penting perlunya penguatan dari keluarga. Saya tumbuh dari keluarga non-perokok. Sejak kecil saya tidak pernah lihat Ayah saya merokok, begitupun dengan Paman saya. Ayah saya juga tidak mengajarkan pada 4 anak laki-lakinya untuk merokok. Sehingga Alhamdulillah dari 6 bersaudara di keluarga, saya tidak terpapar rokok. Kecuali di ruang publik atau terkadang tamunya papa yang kadang gak ngeh suka ngerokok.

Alhamdulillah ketika memutuskan punya suami pun saya memilih seseorang yang Alhamdulillah bukan perokok. Sehingga saya bisa bebas dari paparan rokok (hanya ketika adik ipar sesekali pulang terkadang merokok di dalam rumah, hal tersebut yang saya tidak suka).

Maka dari keluarga bisa menjadi pencegahan preventif sehingga anak tidak terpapar dengan rokok. Meski di luaran, banyak orang dewasa merokok atau temannya, jika pondasi kuat, insyaAllah anak tidak akan ikut-ikutan merokok.


2. Orang tua dapat memantau lingkungan anaknya yang beranjak remaja
Yang membuat saya heran dan miris tentunya adalah anak-anak SMP sekarang tak jarang banyak yang sudah merokok. Jika dari kecil merokok, biasanya akan menjadi pelanggan sampai dewasa. Awal mula coba-coba, kemudian betulan jadi perokok.

Kita mesti mendukung #RokokHarusMahal karena iklan-iklan pun tak berpengaruh bagi pengguna rokok. Malah sebenarnya iklan itu sebenarnya untuk pemberitahuan bagi calon non-perokok (anak dan remaja laki-laki).

Keluarga dapat mencegah sedini mungkin dan memberi pendekatan yang baik pada anak tentang risiko kesehatan panjang yang merupakan sebuah investasi di masa mendatang.


3. Pengendalian akses rokok bagi anak dan remaja

Sumber: tirto.id

Pemberlakuan rokok bisa dibeli bagi remaja yang sudah 17 tahun (bisa dengan menunjukkan KTP saat membeli) ataupun akses penjualannya. Sehingga daya beli untuk dan anak di bawah usia 17 tahun bisa menjadi sedikit.


4. Harga #RokokHarusMahal dan tidak boleh Ecer
Tulus mengungkapkan bahwa, "Penjualan rokok juga harus dikendalikan seperti harga rokok 50.000 harus juga disertai dengan tidak boleh ecer, karena jika dijual ecer, tetap saja perokok berpendapatan rendah dapat mengonsumsinya, sedangkan tujuan dari #RokokHarusMahal adalah agar masyarakat berpendapatan rendah dapat mengalihkan biayanya untuk kebutuhan primer."


5. Pemberlakuan denda bagi perokok di ruang publik
Di Malaysia, jika merokok di ruang publik seperti Rumah Sakit dan Rumah Makan, maka akan terkena denda 100 ringgit. Hal ini bisa diberlakukan di Indonesia. Dari detik.com, untuk perokok diatur dalam pasal 41 ayat (2) jo Pasal 13 ayat (1) Perda DKI Jakarta No.2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yakni setiap orang yang merokok di kawasan dilarang merokok diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Sayangnya tapi sampai sekarang di ruang publik tetap ada yang merokok, dan sepertinya tidak terkena denda.

Yang membuat kecewa adalah karena kerapkali di angkutan umum perokok dari mulai supir, atau penumpangnya menyumbang asap untuk penumpang lainnya yang biasanya perempuan, anak-anak, bayi, malah ibu hamil juga terkena asap. Semoga menjadi realisasi denda tersebut sebetulnya untuk tahu tempat saja sih kalau di ruang publik plis jangan merokok.

6. #RokokHarusMahal dapat membuat tidak terjangkaunya oleh kelompok miskin dan mengurangi prevalansi perokok di kelompok ini.
Tulus juga mengungkapkan bahwa dengan #RokokHarusMahal harga rokok naik dapat membuat tidak lagi terjangkaunya oleh kelompok miskin dan diyakini akan mengurangi prevalansi perokok di kelompok ini.

Malah pernah program pemerintah pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada realisasinya para Bapak tidak memberi uangnya kepada istri untuk belanja, malah dibelikan rokok. Sehingga bantuan dari pemerintah menjadi tidak efektif. 

7. Keluarga Perokok berpendapatan rendah bisa memprioritaskan untuk kebutuhan primer, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan
Mengapa gerakan #RokokHarusMahal yang disasar adalah masyarakat berpendapatan rendah? Itu karena isu rokok bukan saja goals nomor 3, tapi lainnya dijelaskan pula dalam kesimpulan bahwa keluarga perokok biasanya menderita anak kurang gizi, karena memprioritaskan kebutuhan rokok dibandingkan yang primer.

Selain itu mengapa yang disasar adalah kelompok miskin yakni karena orang miskin biasanya yang paling banyak risiko penyakit. Terutama beban kesehatan menjadi kekhawatiran banyak orang.

Saya mendukung #RokokHarusMahal ini adalah tanda tangan petisinya.

Jika Anda mendukung "Rokok Harus Mahal" silakan, tandatangani petisinya di >>> Change.org/rokokharusmahal

petisi harga #rokokharusmahal

Selengkapnya untuk tahu info kbr bisa di cek di website http://m.kbr.id dan akun instagramnya https://www.instagram.com/kbr.id/

Yuk, cegah generasi muda kita untuk merokok! Gaya hidup sehat tanpa merokok tentu setiap orang bisa!

#rokokharusmahal
#rokok50ribu

**Tulisan ini menjadi pemenang episode 4. Alhamdulillah 

10 comments

  1. Aku baru tau nih soal cukai. Jadi kalau udah dikasih cukai ga boleh diiklanin, ya? Heu ini pada bandel dan yang kasih slot iklan ga mau rugi apa ga tau, ya? Duh emang ngeselin rokok ini. Aku juga support kalau harga rokok harus mahal.

    ReplyDelete
  2. Beruntungnya aku dpt suami yg nggak ngerokok. Aku setuju banget kalo rokok harus mahal.

    ReplyDelete
  3. Takutnya udah mahal jg tetep dibela2in beli :(

    ReplyDelete
  4. Data Global Youth Tobacco Surver (GYTS) tahun 2014 yang menunjukkan prevalensi perokok usia 13-15 tahun di Indonesia mencapai 20.3%% ini sungguh ngeri. Duuuh... beneran deh, program #RokokHarusMahal ini kudu terwujud. Makin hari makin banyak aja perokok dari kalangan anak muda. Kalo rokok harganya mahal dan gak boleh dijual eceran, hal ini pasti bakal dicegah. Bahkan lama2 bisa berkurang. :(

    ReplyDelete
  5. Sebenarnya simalakama yaa...
    Kalau rokok sudah mahal, apakah menjamin mereka yang gak punya uang tidak bisa beli rokok?

    Aku pesimis, tapi patut dicoba untuk perubahan sekecil apapun demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat.

    ReplyDelete
  6. Sekarang ruang-ruang merokok sudah sangat dibatasi di mana-mana. Semoga jadi win-win solution juga.

    ReplyDelete
  7. Aku setuju rokok harus Mahal, 100rb aja sebungkus gitu kalo bisa 😁

    ReplyDelete
  8. Duh harusnya sih jgn hanya mahal jd barang terlarang aja wkwwkwk... Sebel atuda sama rokok manfaatnya ga ada sama sekali kecuali pajaknya lumayan jd pemasukan buat pemerintah hehe..

    ReplyDelete
  9. Masalah rokok ini seperti lingkaran setan. Di belakang sana, banyak banget orang yg terlibat dalam proses pengolahan tembakau menjadi rokok,pengemasan,hingga pendistribusian.
    Jika rantai ini dipotong, putus juga mata pencaharian ratusan ribu orang. Rokok menyebabkan kemiskinan? Wallahualam..

    Saya lebih concern pada kesadaran perokok aktif yg peduli pada kesehatan perokok pasif di sekitarnya. Minimal merokoknya jauh-jauh dari para perokok pasif.

    ReplyDelete
  10. Saya juga dukung program #RokokHarusMahal ini. Semoga masyarakat kita semakin sadar akan risiko rokok baik terhadap ekonomi maupun kesehatan.

    ReplyDelete