Resensi: Serial Pingkan Seperti Seri Daisy Musim Semi by Muthmainnah

Serial Pingkan
Seperti Seri Daisy Musim Semi

Cerita Pingkan yang menyedot perhatian saya karena latar Perth, Australia membuat saya takjub. Ini novel pertama yang saya baca dengan sudut pandang anak asli Indonesia yang mau berkuliah di luar negeri.

Pingkan, gadis asal Padang, Indonesia yang hendak merantau berkuliah di Perth, Australia. Ikut bersama Tom, bule yang pernah ikut tinggal di rumahnya bersama Abak dan Amak di Padang dengan menjadi orang tua asuh Pingkan selama di Perth, Australia.

Dalam novel ini, saya bisa merasakan tulisan yang hangat, kocak, lucu, fun, tapi tetap menyentuh. Remaja cantik, cerdas, tomboy dan disayangi teman-temannya.

Di Perth, ikut di rumah Tom, meski berbeda keyakinan, Pingkan dibebaskan untuk beribadah dan ‘Uda’, begitu panggilan Ping pada Tom, tahu makanan apa saja yang mesti dijaga oleh Ping sebagai seorang Muslim.

‘Uda’ pernah tinggal lama di Padang dan dekat dengan Abak dan Amak, dan sudah seperti anak sendiri, sehingga Uda pun sayang pada Ping dan Uni Lis, serta menganggap mereka adik, meski sebenarnya Uda bule.

Tom juga selalu menjaganya dari teman-temannya yang menanyakan Ping, namun Tom tidak meladeninya.

Di rumah, Tom tidak tinggal dengan berdua dengan Pingkan, namun juga dengan Beth. Permasalahan muncul karena Pingkan juga takut karena Tom dan Beth tinggal satu atap, padahal belum menikah.


Uni Lis sering bertanya kabar lewat telepon pada Ping, dan Ping akhirnya cerita kalau Tom dan Beth tinggal berdua di Perth. Marahlah Uni Lis, belum lagi ternyata Abak juga marah besar karena itu namanya samenleven. Akhirnya Abak pun menelepon Tom.

Hal ini menyebabkan persaudaraan kakak adik antara Ping dan Uni Lis merenggang. Selayaknya kakak adik yang semula akrab menjadi canggung saat bertelepon pun.

Akhirnya Abak pun menelepon Tom. Permasalahannya, mereka harus menikah. Kalau di budaya barat itu adalah hal yang aneh. Biasanya mereka beberapa bulan dulu tinggal bersama, kalau sudah merasa cocok baru menikah.

Padahal islam tidak mengajarkan hal seperti itu. Menikah dulu, halal dulu, baru tinggal bersama.


Baca juga: Resensi Journey of the Heart
Akhirnya Tom ngobrol dengan Beth. Ia tidak rela adiknya pulang lagi ke Indonesia. Tapi ketika mengobrol ternyata permasalahannya karena Beth belum yakin, ingin berkarier dulu, dan belum ingin menikah.

"Kamu tahu, Ping?" Beth mengeluarkan sendok dari gelas. "Tom membicarakan pernikahan."
"Lalu?" Ping membuka mulut. "Menurutmu bagaimana?"
Beth meneguk susunya. "Hm," dia meletakkan gelas. "Terlalu cepat."
..
"Kamu belum siap mental. Gitu?"
"Yah, sort of" Beth bangkit, membuka kulkas. Dia mengeluarkan jus apelnya. "Saya tidak yakin bahwa menikah cepat itu pilihan terbaik." Beth kembali ke meja.
"Kamu mencintai Tom, kan?"
"Of course"
"Jadi belum yakin dengan apa?"
"Saya ingin berkarier dulu. Saya ingin mengembangkan diri sebelum terikat dalam sebuah perkawinan."
Ping menelan ludah pahit. Ini dia, problemnya. Pelan dia menyudahi sarapannya.
Beth memainkan gelas jusnya. "Mungkin Ping," dia tengadah. "Saya belum ingin menikah. Itu sebab utamanya."
Pingkan berusaha menahan rasa kecewanya. Ni Lis, kalau sudah begini, Ping harus bagaimana?
(hlmn 44)

Dalam novel Pingkan, bahasanya populer, ringan, dan menceritakan kehidupan keseharian.  Selain itu lebih banyak dialog yang hidup dan penggambaran latar di Perth, Australia dan Padang. Ada juga latar di Jatinangor dan Bandung.

Hal yang menarik adalah setting di luar negeri. Saya bisa jalan-jalan ke Australia dengan membaca buku ini. Terkadang menjadi pertanyaan adalah bagaimana seorang perempuan tanpa mahramnya bepergian ke luar negeri dalam waktu lama 3 tahun misalnya, seperti Pingkan.

Meski secara fikih masih menimbulkan perdebatan, Pingkan tetap berangkat. Dan karena memiliki wali Tom, ia ingin kuliah di sana. Sembari menunggu, Ping bekerja paruh waktu di Bell’s Café.

Tom begitu baik. Setiap minggu Ping diberi uang saku. Uang itu cukup untuk ongkos pulang pergi kerja. Ping sebenarnya menolak. Tom memaksa. Uang gaji Ping boleh Ping gunakan untuk apa saja, tapi jajan Ping tetap dari dia. Tom juga membolehkan Ping terus bekerja. (hlm 28-29)

Hal-hal lucu juga saya temukan dalam novel ini, seperti Ping pernah ditanya oleh temannya juga bosnya,  “Mengapa (bekerja di Bell’s Café) memakai jeans, tidak memakai rok pendek?”
Pingkan menjawab, “Saya.. eh.. saya takut masuk angin kalau pakai rok itu.” Tawa Stef meledak. Kali lain ia juga tidak bisa menahan tawa cekikikan mendengar alasan Ping.

Novel ini pernah diterbitkan oleh Syaamil Cipta Media pada tahun 1999, kemudian novel kelanjutannya terbit pada Juli 2011, yakni diterbitkan oleh Gizone Books. Setelah di edisi pertama Pingkan mendapat sambutan yang fantastis dengan terjual lebih dari 40.000 eks. Kemudian, yang sampai di tangan saya ini adalah buku terbaru dan kumpulan dari beberapa novel sebelumnya. Sehingga saya yang belum pernah baca, bisa sekali baca dalam satu buku, dan terasa asyik membacanya. Berasa jadi abege lagi.

Ni Lis, kakak Ping, selalu memantau Ping meski tinggal berjauhan, Padang-Perth. Uni Lis selalu meluruskan Ping pada hal-hal syar’i (dilihat dari sudut pandang agama) ketika Ping kebingungan bagaimana memandangnya dari sudut pandang agama.
Seperti misalnya kasus Tom Beth yang belum menikah, Ni Lis getol mengingatkan Ping. Lalu ketika mendapat tawaran menjadi model, Ping pilih-pilih, dengan persyaratan tidak membuka aurat ia mau.

Proses hijrah Ping pun memakai hijab.
Kisah selanjutnya yang membuat saya terenyuh yakni Ping menyayangi Nenek Lauren. Setiap pulang dari Bell’s Café menuju rumah Tom, Ping akan lewat ke rumah Nenek Lauren. Ping melihat Nenek Lauren duduk di kursi roda, seperti meratapi nasibnya.

Pingkan langsung teringat dengan Nenek di kampung. Ia pun bertekad akan memberikan kebahagiaan kepada Nenek dan akan sering datang mengunjunginya. Dari Nenek Lauren, Ping belajar masak, dan lain-lain.

Perempuan harus mampu menciptakan suasana nyaman bagi keluarganya, Ping -Nenek Lauren, dalam novel Pingkan, Muthmainnah. 

Ping juga sering bertukar cerita dengan Nenek, kadang memakai telepon milik Nenek, bahkan saat Nenek sakit, Ping menemani karena takut kenapa-napa. Alhasil Nenek sangat menyayangi Ping.

Puncaknya saat akan meninggal dunia, Nenek sempat minta dibacakan kalimah syahadat. Ping merasa kehilangan sekali. Saat keluarga datang dan memakamkan Nenek, Ping sampai lupa memberi tahu kalau Nenek telah mualaf di akhir hayatnya.

Sampai akhirnya ketika akan dibacakan wasiat, Ping diminta untuk hadir. Ping bingung mengapa dirinya mesti datang. Pembacaan wasiat menyatakan bahwa seluruh harta warisan Nenek Lauren diberikan kepada Pingkan Rahma. Ping langsung merasa kaget.

Awalnya Ping diterima hangat saat anak-anak Nenek Lauren datang. Tapi tidak saat pulang. Mereka bersikap dingin.

Ping sekarang memiliki mobil, rumah dan lainnya. Ia pun merasa perlu ketenangan karena masih merasa sedih kehilangan Nenek. Akhirnya Ni Lis pun dari jauh mengenalkannya dengan komunitas Muslim disana. Ping pun merasa senang.

Ia pun memanfaatkan rumah untuk kepentingan IMSA.
Di novel ini pun diceritakan Tom dan Beth akhirnya menikah, dan sempat ada keguncangan Beth tertarik mendalami Islam, kemudian menjadi mualaf. Hal yang tiba-tiba tersebut membuat Tom marah kepada Ping.

Sayangnya di buku ini pun begitu cepat perubahan misalnya Khalda menjadi mualaf, kemudian disusul dengan Stef, yang langsung mengenakan hijab.
Tapi dari semua sisi saya senang karena buku ini menyuguhkan pemikiran yang segar, dan berwarna.
Islam rahmatan lil ‘alamin.

Dalam perjalanannya, ia pun dijodohkan dengan Rizal. Akankah Ping menerima Rizal menjadi suaminya? Simak selengkapnya dalam novel ini. Selamat membaca!

Judul: Serial Pingkan Seperti Seri Daisy Musim Semi
Penulis: Muthmainnah
Cetakan: I, Maret 2017
Penerbit: : Pingkan Publishing
Tebal: V + 425 halaman: 14,8 x 21 cm
ISBN: 978-602-418-159-8

2 comments

  1. Terima kasib reviewnya mbak. Bermanfaat banget untuk kilas balik karena saya lagi serialnya yang kedua 😁

    ReplyDelete
  2. Belinya dimana ya? Saya kesulitan mencari di toko buku sekitar Bogor.

    ReplyDelete