Resensi Buku: Drunken Molen - Pidi Baiq

Resensi buku Drunken Molen- Pidi Baiq

Itu masih jam 5 pagi, The Beatles sudah disuruh nyanyi oleh istri saya di ruang tengah. Mereka tidak bisa nolak meskipun mereka Inggris, karena mereka itu sudah jadi milik istri saya sejak mereka menjual dirinya kepada istri saya di sebuah toko kaset. (The Beatles Jual Serabi, hlm 78)

Buku ringan, berisi catatan harian Pidi Baiq, namun tertulis cacatnya harian Pidi Baiq, bahasa ringan, renyah, bisa dinikmati di tengah banyak pekerjaan. Mudah dicerna. Kata yang mewakili buku Pidi Baiq "Drunken Molen" ini adalah 'nyeleneh', 'iseng' dan 'jailnya' seorang Pidi Baiq.

Menggunakan sudut pandang pertama menggunakan kata 'Saya'-Pidi Baiq. Kisah keseharian seorang Pidi Baiq, di rumah, bertemu dengan tetangganya, dan seterusnya.

Meski di satu sisi tingkat jahil, nyeleneh dan iseng Pidi Baiq, namun di akhir kisahnya malah memberi kesan dia sebagai orang baik, pemurah, tidak hitung-hitungan, orang yang menyenangkan bagi lingkungannya, dicintai keluarga, tetangganya, ataupun orang lain meski hanya sekali bertemu.

Kita akan temukan dalam kisahnya, dimulai dari Bab 1 diawali dengan cerita "Naruto Bersyukur", yakni seorang anak yang mampu menyelesaikan 'games' dan ada selebrasinya: syukuran mengundang tetangga, membuat saya tersenyum-senyum tak berhenti.

Pencitraan seorang suami baik di mata tamu bagi Istri, seolah-olah menjadi gambaran kelucuan karena ingin dilihat sebagai suami yang baik.

"Nanti mau dipijit lagi?" 
"Pijit apa?" istri saya bertanya heran. 
"Oh nanti sajalah! Mari Bu!" 
Itu saya lakukan semata-mata untuk menghargai istri saya, agar istri saya di mata si tamu dapat dipandang sebagai seorang perempuan yang beruntung, karena sudah beroleh suami yang baik, yang baik banget, lah, pokoknya. Biar si tamu itu, nanti bilang kepada suaminya untuk mencontoh suaminya Bu Rosi. (hlm 19) 

Hal yang cukup nyeleneh karena biasanya syukuran itu diadakan seperti syukuran ulang tahun, aqiqah atau rumah baru. Lha ini syukuran untuk merayakan Timur  yang sudah namatin game Naruto.

Baca juga: Resensi Novel "Dilan dan Cinta Milea 1991"

Dalam cerpen berikutnya “Patung Ngamen” diceritakan ada seorang pengamen yang menjajakan suaranya dari rumah ke rumah. Saat itu pengamen datang ke rumah saya -Pidi Baiq, dan heran karena ia menyanyi, namun orang di hadapannya diam.

Saya terus saja diam, sama sekali tak bergerak. Saya betul-betul sedang menjadi patung, diiringi pengamen yang nyanyi. Pikiran saya menebak pengamen itu pasti heran mengapa saya diam terus seperti patung. (hlm 33)

Sampai pengamen tersebut sudah selesai dari rumah ke rumah ia heran melihat tokoh “saya”, lalu pergi dengan teriak: Nu Gelo! 

Dalam cerpen selanjutnya berjudul “Basa Basi Bisu” tingkah nyeleneh tokoh aku “saya” juga membuat heran tukang pos karena orang dihadapannya bisu –berpura-pura menjadi bisu.

Juga saya jadi teringat dengan sales yang kerapkali datang ke rumah menawarkan dagangan-dagangannya. Seringkali kita menolak. Padahal ia sudah “berbuih-buih” menawarkan dagangannya.

Kesan yang mendalam karena tokoh aku “saya” akan membeli mesin pengharum dengan syarat sales itu mau main badminton dulu.

Akhirnya si Sales itu permisi pulang. Dia pergi bersama motornya. Pergi dengan membawa satu kantong keresek berisi buah-buahan dan satu piring kaleng yang tadi bekas dipakai main badminton. Lumayan. Setidaknya bisa jadi piring kenangan bahwa dia pada suatu hari, pernah bersama saya, main badminton. Dia pergi, meninggalkan saya lalu asyik main bersama Bebe, main perahu-perahuan di dalam ruang yang harum permen. (hlmn 51)

Dari sekian tulisan Pidi Baiq, saya paling suka dengan “The Beatles Jual Serabi”, seperti di awal tulisan. "Itu masih jam 5 pagi, The Beatles sudah disuruh nyanyi oleh istri saya di ruang tengah. Mereka tidak bisa nolak meskipun mereka Inggris, karena mereka itu sudah jadi milik istri saya sejak mereka menjual dirinya kepada istri saya di sebuah toko kaset. (hlm 78)

Saat saya-Pidi Baiq membeli semua serabi Emak dan Pidi mencoba membuat serabi, membuat saya sebagai pembaca ikut larut dan deg-degan. Pengalaman berharga karena mencoba jual serabi itu pengalaman langka, bisa merasakan langsung masak di tungku, namun juga lucu karena tingkah Emak.

Si Emak sudah lagi pindah posisi ke sebelah kanan saya dan berdiri. Begitu laku orang sedang meragukan kemampuan orang lain. “Mak, Emak duduk aja” perintah saya. (hlm 81) 

Penutup dari tulisan The Beatles Jual Serabi memberi kontemplasi bagi pembaca.
Setelah itu, kami segera pergi pulang. meninggalkan si Emak yang meskipun sudah uzur, masih harus tetap bekerja demi bisa membantu meringankan beban pemerintah agar dengan begitu pemerintah tidak usah lagi repot memikirkan nasib dan keadaan mereka, supaya pemerintah bisa fokus menyelesaikan urusan tata Negara. (hlm 87)

Setiap judul yang diambil pun unik-unik. Seperti yang menjadi judul “Drunken Molen” ketika saya-Pidi Baiq membagi molen pada Ibu-ibu yang sedang menunggui anak-anak pulang sekolah, I am sterdam, Cuidad de la Habana Cuba, Mesjid Rolling Stones, SMP Merry, SMP Negeri Lion King, dan lain sebagainya.

Dalam tulisan “Nazar”, jailnya Pidi Baiq ga ketulungan. Ceritanya ingin berbagi pada tiga orang tukang gali, masing-masing sepuluh ribu rupiah. Hal itu berlanjut dengan dalih’ “nazar” (yang entah iya entah tidak, tapi jangan jadi pembenaran), bahwa ia ingin orang-orang (baca: tukang gali) tersebut dicukur.

Saya tak bisa berhenti geleng-geleng kepala dan menyebut gila dalam hati. Parahlah. Hehe. Tulisan ditutup dengan kalimat apik.

“Tidak ada niat mau gitu. Sama sekali tak ada. Saya Cuma mau ngasih uang. Saya Cuma ingin lihat Bapak rapi. Dan dari semuanya, satu hal yang penting, ketika saya senang, saya juga ingin melihat Bapak senang, dapat uang dan rapi.” 

Seri humor Pidi Baiq ini mampu membuat tersenyum, merenung, dan jadi berkaca. Iseng, kejahilan, dan nyelenehnya bisa membuat setiap orang ingat dan tak melupakannya. []

Judul buku: Seri Humor: Drunken Molen
Karya: Pidi Baiq 
Cetakan: V, Februari 2017
Penerbit: Pastel Books, Bandung
ISBN: 9786 0278 706 66

No comments