Mewaraskan Diri Mengobrol dengan Kawan Lama


Siang itu, kau begitu gugup bertemu dengan senior yang sudah lama tak kau temui. Sepertinya yang kau perlukan adalah sebuah keberanian untuk menyapa mereka terlebih dulu. Tapi keberanian pun tak ada.

Sejak menjadi ibu rumah tangga, krisis rasa kepercayaan dirimu turun sebebas-bebasnya karena entah mengapa, merasa lebih rendah, merasa minder karena sekarang lebih banyak bergaul di rumah dengan anak-anak dan gak selevel dengan mereka.

Padahal mungkin itu hanya sebatas khayalan kau saja. Padahal siapa yang bisa tahu?
Bukan suatu hal yang salah menyapa mereka duluan. Menjadikan anak hormat dengan teman-temanmu juga adalah hal yang bisa menjadi alat untuk ngobrol dengan mereka lebih banyak.

Andai waktu dapat kau ulang lagi, mungkin kau masih akan gemetar, segugup-gugupnya. Kau bisa training diri sendiri sejenak, menarik nafas panjang. Tutup mata dan mulai bertanya,

“Assalamu’alaikum Kang, apa kabar?” mungkin begitu tanyamu.
“Gimana kabarnya? Kang, gak sama istri?” Mungkin kau akan lebih bertanya menyamakan persepsi dulu.

Selanjutnya bisa membuka dialog dengan hal yang kau sukai. “Kang, punya buku bagus gak tentang pembajakan buku. Boleh pinjem?”

Atau, “Pak, gimana ya, saya punya ijazah ngajar, tapi saya ingin ngajar Bahasa Indonesia. Kuliah S2 lagi gitu?” rasanya ingin. Salah gak? Usia 30 tahun.
S2 4 tahun bisa sampe 34 tahun. Tapi rasa merasa bersalah membesarkan anaknya jauh lebih besar. Huft.

Alhasil hanya ada di fikiran aja itu.
“Assalamu’alaikum”
Mungkin memang sudah roda itu berganti. Dan tampuk itu sudah bukan di pundak saya yang lapuk ini. Saya aja yang kegeeran sering dikata ‘senior’ tapi tak ada yang bisa saya terbitkan novelnya.
Amat sedih kalau nanti ada agenda lagi saya dating ‘sendiri’. Malu karena saya belum bisa sepenuhnya membuka diri.

Ingin mulai berubah dari aku yang lama menjadi aku yang baru.
Seharusnya aku bisa lebih humble bertemu dengan teman seprofesi. Nanti lagi kalau ketemu dengan teman blogger senior pun saya bisa membuka diri.

Bukan hanya membincangkan sekadar, “Hai!” tapi juga bertanya, “Bapak, ada perkembangan apa di dunia literasi? Dan seterusnya.”

Jika ditanya nanti kalau bertemu senior, saya akan selewat begitu saja?
Bisa jadi karakter diri yang terlalu malu itu bisa jadi boomerang bagi diri saya sendiri. Mulai lagi belajar untuk menyapa dengan menanyakan hal-hal yang umum.

“Assalamu’alaikum udah lama disini? Udah apa aja tadi acaranya kang?” Maka nanti akan mengalir sendiri pertanyaan lain.

Maka siapkan terlebih dulu mental yang besar daripada berani untuk hadir saja tanpa ada pelajaran yang bisa dipetik. Bisa saja menanyakan hal-hal lain. “Pak saya tuh udah ngirim tulisan dulu. Kira-kira ada tanggapan dari Bapak atau kritik tulisan untuk saya? Sehingga bisa saya perbaiki.”
Atau “Gimana Pak biar tulisan saya dimuat di media massa? Bukan di blog saja?”

Public speaking mesti saya kuasai lagi karena mental guru yang koleris gak ada dalam diri saya. Tapi keinginan untuk itu ada.

Sebenarnya saya cinta dialog sehingga saya bisa merasa tidak sendiri dan saya merasa juga diperhatikan. Mampu berkomunikasi dengan banyak orang itu perlu teknik dan kesempatan. Moga keberanian itu datang ketika bertemu dengan teman-teman saya lagi. Percakapan lebih renyah, percakapan lebih hidup. []

No comments